Derby Jawa Timur jilid satu beberapa waktu lalu telah berakhir. Di mana kedua kesebelasan masing-masing tidak ada yang menjadi pemenang. Baik Persebaya Surabaya dan Arema FC harus puas bermain imbang-imbang 2-2. Seperti halnya laga big match pada umumnya, pertemuan Bajol Ijo dengan Singo Edan di Final Piala Presiden kali berjalan dengan seru. Selain mempertontonkan laga menghibur dan seru, antusias penonton juga tergolong ugal-ugalan.
Hampir sekitar 50.000 ribu orang memadati Stadion Gelora Bung Tumo. Walaupun manis, namun di balik itu pertandingan Persebaya Vs Arema pada Selasa (9/4/2019) juga menuliskan kisah pahit. Bahkan kata nestapa tidak berlebihan untuk menggambarkannya. Pasalnya, anarkisme dan kematian lagi-lagi terjadi. Seperti apakah itu? Mari simak ulasan berikut untuk mengetahuinya.
Chant rasisme menggema di markas Persebaya Surabaya
https://www.youtube.com/watch?v=Ye-iH9oIZ8o
Salah satu kisah pahit yang paling terlihat di laga Persebaya kontra Arema FC adalah perilaku rasisme. Yaa, meski tidak 90 menit terjadi, namun perilaku yang sangat dilarang ini beberapa kali menggema di stadion. Bahkan menurut laporan JawaPos, sebelum pertandingan derby tersebut chant bernada rasisme sudah dilantunkan oleh hampir seluruh penonton. Sampai-sampai membuat MC laga tersebut harus turun tangan mengingatkan. Tidak hanya bentuk nyanyian, logo Arema FC di papan skor juga dibalik oleh salah satu oknum pendukung Persebaya Surabaya.
Aksi ‘anarkisme’ muncul setelah usia laga 90 menit
Selain hal tadi, pertandingan akbar Jawa Timur itu juga mengukir sebuah kisah tentang anarkisme. Di mana setelah laga Persebaya Vs Arema usai, banyak pelemparan botol yang dilakukan suporter. Bahkan sampai-sampai membuat punggawa Singo Edan harus mendapatkan perlindungan ekstra ketika masuk ruang ganti. Kejadian anarkis ini, seperti mengulang pertemuan kedua tim di Liga 1 pada 5 Juni 2018, kala itu para punggawa Arema juga mendapatkan perlakuan serupa setelah pertandingan usai. Hal negatif yang bisa memicu bibit-bibit perseteruan diantara kedua belah pendukung.
Satu suporter Bonek harus berpulang setelah pertandingan
Masih tentang kisah pilu di balik laga Persebaya Vs Arema di final leg 1 Piala Presiden 2019. Sebelum laga mereka berlangsung, kabarnya ada satu pendukung tim berjuluk Bajul Ijo yang berpulang. Dilansir Boombastis dari Detik.com, korban yang berasal dari wilayah Ambulu, Jember itu, alami kecelakaan dengan terlindas truk trailer sesaat akan berangkat menonton pertandingan Derby Jawa Timur tersebut. Berkaca dari kasus tersebut budaya Bonek yang kerap lakukan estafet memang bisa dilabeli sebuah hal penuh resiko. Apalagi, tragedi ini bukanlah yang pertama.
Penyerangan terhadap pemain-pemain Persebaya
Dari penelusuran yang dilakukan oleh penulis, ternyata kekecewaan para pendukung kesebelasan identik warna hijau itu tidak hanya berupa pelemparan botol atau membalikkan bendera Arema FC saja. Lebih dari itu, diam-diam mereka yang juga melakukan penyerangan kepada sejumlah pemain yang dinilainya bermain buruk. Tapi penyerangan dimaksud bukanlah tindakan fisik, melainkan meneror dan menghujat lewat kolom komentar sosial media pemain dan akun resmi Persebaya. Apakah hal itu diperbolehkan? Pastinya kalian mempunyai jawabannya sendiri.
BACA JUGA: Mendobrak Rivalitas, Inilah 5 Pesepakbola yang Pernah Berseragam Persebaya dan Arema
Kisah pahit yang ada di laga Persebaya Vs Arema (anarkisme dan rasisme) sebaiknya menjadi sebuah hal yang harus disingkirkan. Selain mencoreng nilai sportivitas, juga bisa menumbuhkan bibit perseteruan antar suporter. Dan bila ada kekecewaan terhadap hasil atau performa pemain, seharusnya bisa disampaikan lebih baik. Toh, pesepakbola tidak ada yang sempurna. Terlepas, dari itu laga kedua tim memang sangat luar biasa.