Bisnis kelapa sawit memang menjadi salah komoditas andalan Indonesia untuk mendulang keuntungan, baik lewat kegiatan ekspor maupun diserap oleh industri di dalam negeri. Namun di tengah hal positif tersebut, keberadaan lahan sawit milik negara itu secara tidak langsung telah merampas hak hidup masyarakat Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD).
Hutan yang selama ini mereka tinggali secara turun temurun, kini harus mengalah dengan perusahaan sawit yang menggusur tanah adat mereka. Mau tidak mau, mereka pun terpaksa angkat kaki atau memilih bertahan dengan kondisi yang memprihatinkan. Kelaparan hingga konflik demi konflik pun mulai merebak antara mereka dengan perusahaan sawit.
Suku yang kehilangan jati dirinya sebagai penghuni rimba raya
Masifnya penggusuran lahan yang dilakukan oleh perusahaan sawit merupakan awal petaka dari Orang Rimba yang bermukim di kawasan Batanghari dan Muaro, Provinsi Jambi. Lahan subur yang berubah menjadi ladang sawit, membuat mereka harus rela tersisih dan tinggal di tepian hutan. Mirisnya lagi, akar kebudayaan dan adat yang menjadi kearifan lokal Orang Rimba juga terancam hilang.
Bagi Suku Anak Dalam, hutan adalah sumber penghidupan sekaligus tempat untuk melestarikan tradisi bermasyarakat. Kaum perempuan bertugas mencari jernang (getah pohon meranti) untuk pewarna sekaligus bahan obat-obatan. Sementara kaum pria memelihara kebanggaannya dengan berburu di hutan dengan menggunakan tombak. Hilangnya hutan, berarti lenyap pula semua tradisi tersebut.
Susahnya mencari makan yang kemudian berujung bentrok
Jika masyarakat normal saja kesusahan mencari penghasilan akibat wabah Covid-19, hal ini pula yang dirasakan oleh Orang Rimba kelompok Sikar di Sungai Mendelang, Kecamatan Tabir Selatan, Kabupaten Merangin, Jambi. Sulitnya mencari makanan, membuat mereka terpaksa mengambil brondolan sawit yang jatuh dari pohonnya untuk dijual dan hasilnya digunakan untuk membeli beras.
Menurut Koordinator Komunitas Konservasi Indonesia Warung Informasi Konservasi (KKI Warsi) Sukmareni yang dikutip dari Tempo (14/05/2020), Orang Rimba tersebut sempat terlibat bentrok dengan petugas keamanan perusahaan kelapa sawit. Mengambil brondolan sawit pun menjadi pilihan satu-satunya lantaran hutan tempat mereka mencari makan dengan berburu telah beralih menjadi lahan sawit.
Konflik lainnya yang terjadi akibat berkurangnya lahan untuk mencari makan
Keluar dari hutan dan membaur dengan para pendatang atau transmigran sejatinya bukanlah gaya hidup Orang Rimba. Namun karena semakin sempitnya lahan yang bisa ditinggali, membuat mereka meninggalkan hutan. Orang Rimba yang berbaur degan pendatang, disebut sebagai Orang Singkut. Meski demikian, hal tersebut bukannya tanpa masalah.
Konflik kerap terjadi antara Orang Singkut dan transmigran akibat perbedaan budaya yang terjadi di antara keduanya. Bagi Orang Singkut, lahan yang digunakan bercocok tanam oleh transmigran dianggap masih milik mereka karena diyakini sebagai tanah leluhur. Tak heran jika mereka kerap mengambil tanaman yang ada. Sementara di pihak transmigran, hal tersebut dipandang sebagai pencurian alias tindakan kriminal.
Harapan kosong di tengah minimnya fasilitas untuk Orang Rimba
Setelah kehilangan hutan sebagai tempat tinggal, Orang Rimba juga harus menghadapi masalah lainnya yang tak kalah pelik, yakni bertahan hidup dalam fasilitas yang minim. Hal ini dirasakan oleh Orang Rimba yang tinggal di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNDB) Jambi.
Dilansir dari Merdeka (23/12/15), mereka mengeluhkan soal ketiadaan infrastruktur penunjang di tempat tinggalnya seperti pendidikan dan kesehatan. Bahkan, satu-satunya akses pendidikan hanya didapat lewat Sokola Rimba yang didirikan oleh Butet Manurung. Pun dengan kesehatan, Orang Rimba harus berjalan kaki selama berhari-hari hingga sampai ke kota.
Suarakan keadilan dengan aksi jalan kaki ke Istana
Merasakan penderitaan yang entah sampai kapan akan berakhir, membuat Orang Rimba berencana menggelar aksi jalan kaki dari Jambi menuju Istana Negara, Jakarta. Hal ini dilakukan karena mereka merasa pemerintah belum memberi perhatian soal konflik antara kelompok mereka dan petani dengan perusahaan sawit.
Bukan tanpa sebab, aksi yang dikoordinatori oleh Amirudin Todak itu bertujuan untuk menagih janji Presiden Joko Widodo, agar segera menyelesaikan konflik agraria antara Orang Rimba dengan PT Asiatic Persada sejak tahun 1986/1987 silam.
BACA JUGA: 5 Fakta Tentang Suku Anak Dalam yang Terusik oleh Makin Maraknya Perkebunan Sawit
Hingga saat ini, Orang Rimba seakan menjadi ‘orang asing’ di tanah sendiri. Hutan tempat mereka tinggal dan beranak pinak kini telah berubah sama sekali. Bersalin rupa menjadi lahan sawit yang mengalirkan miliaran dan bahkan triliunan rupiah ke negara, dan membuat mereka seakan tersingkirkan tanpa kepastian yang jelas.