in

Meneladani Kisah Catherine Pandjaitan, Saksi Mata Peristiwa G30S yang Merenggut Nyawa Sang Ayah

Pemutaran kembali film G30SPKI di tahun ini memunculkan banyak sosok baru. Mereka muncul di permukaan untuk dimintai komentar atas film yang menceritakan tragedi jahanam 52 tahun silam itu. Bahkan beberapa di antaranya belum banyak diketahui publik. Mungkin netizen telah mengenal Jajang C. Noor, aktris sekaligus istri dari mendiang Arifin C. Noor sang sutradara film, atau juga Tommy Soeharto yang memberi respon atas ide Presiden Jokowi tentang pembuatan ulang film G30SPKI tersebut. Namun, sosok satu ini berbeda dan jarang tampil di layar kaca.

Beliau adalah Cathreine Pandjaitan. Dilihat dari nama belakangnya saja pasti kalian sudah menduga bahwa wanita ini memiliki hubungan dengan Pahlawan Revolusi D. I. Pandjaitan. Memang benar, Catherine adalah anak sulung dari Jenderal Anumerta D. I. Pandjaitan. Sosoknya hadir di peringatan peristiwa naas 30 September tahun ini untuk menyuarakan apa yang ada di benaknya soal tragedi tersebut. Simak kisahnya di ulasan berikut ini.

Konfirmasi Kebenaran dalam Adegan Film Pengkhianatan G30SPKI

Dalam film G30SPKI, Jenderal D. I. Pandjaitan merupakan orang terakhir yang diburu oleh Tjakrabirawa. Adegan miris yang membuat kita tak segan meneteskan air mata adalah ketika salah satu putri Pandjaitan menangis dan meraupkan darah sang ayah ke seluruh mukanya. Ketika dikonfirmasi kepada pihak keluarga apakah adegan tersebut benar adanya, inilah jawaban mereka.

Catherine mengaku bahwa kejadian yang ia alami puluhan tahun silam sama dengan bagaimana adegan di film tersebut disiarkan. Ia mengaku aksinya meraupkan darah sang ayah dikarenakan hanya itu persembahan terakhir yang bisa ia lakukan untuk beliau, sekaligus tanda permintaan maaf karena ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya. Hal yang ia sayangkan dari kematian ayahnya ialah ketika sang jenderal diseret dan dilemparkan melalui pagar, diperlakukan seperti binatang, ujarnya.

Depresi Berat Menghantui Selama Puluhan Tahun

Mengalami depresi ketika melihat dengan mata kepala sendiri seseorang yang kita cintai dibunuh merupakan respon yang manusiawi. Apalagi, ketika kita tidak bisa berbuat apa-apa dan melihat mereka dibunuh secara kejam. Hal ini yang dialami oleh Catherine setelah melihat langsung bagaimana ayahnya terbunuh.

Catherine Pandjaitan [image source]
Putri sulung Jenderal D. I. Pandjaitan ini berkisah selama satu tahun tidak ada yang ia lakukan selain menangis, minum obat tidur ketika susah tidur dan tidak jarang ia mencoba melakukan percobaan bunuh diri dengan menyilet lengannya. Ia berkali-kali dipaksa untuk mengingat kejadian naas yang menimpa sosok yang ia sangat cintai tersebut.

Mulai Memaafkan dengan Cara Mendekatkan Diri kepada Tuhan

Dalam cuplikan adegan bagaimana Jenderal D. I. Pandjaitan dibunuh, ia sempat meminta izin kepada pasukan Tjakrabirawa untuk berdoa sejenak sebelum akhirnya kepalanya ditembak. Dari situ bisa dikatakan bahwa keluarga Pandjaitan merupakan seorang yang dekat dengan Tuhan. Dilansir dari voaindonesia.com ketika melakukan sebuah wawancara via telepon dengan Catherine, ia mengaku pada awalnya memang susah, sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang pendeta.

Keluarga DI Pandjaitan [image source]
Ketika sudah menikah dan memiliki satu anak, Catherine disarankan oleh pendeta yang ia curhati, “coba kita ibadah,” sarannya. Dari situ sang pendeta tersebut memberi Catherine sebuah ayat untuk diilhami. Hasilnya, setelah 30 tahun berlalu ia berpegang teguh kepada agamanya dan mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga sekarang sudah bisa ikhlas dan memaafkan kejadian naas tersebut.

“Maafkan Dosa 30S, Kita Rekonsiliasi”

Ditemui baru-baru ini di sebuah rumah makan bilangan Jakarta Pusat, Catherine Pandjaitan dan Agus Widjojo, putra dari Brigjen Sutoyo Siswomihardjo tengah mengadakan rekonsiliasi dengan Soemini, mantan anggota Gerwani. Di sana mereka melakukan perbincangan hangat. Soemini tak henti-hetinya menangis ketika bertemu dengan dua anak pahlawan revolusi tersebut. Ia mengaku bahwa cerita mencungkil mata dan menyayat penis para jenderal itu tidak benar. Catherine dan Agus pun menyetujui hal tersebut.

Soemini dan Catherine [image source]
Dilansir dari merdeka.com, ketika bertemu dengan Soemini, Catherine berkata “kalau menurut saya, ibu sudah jangan terlalu rendah diri. Kita berpikirnya maju ke depan.” Setelahnya perbincangan dilanjut dengan hal-hal sehari-hari, bahkan Catherine sempat memberi resep obat herbal kepada Soemini. Hal ini menunjukkan bagaimana kebesaran hati Catherine menghadapi permasalahan pelik dalam hidupnya. Meski butuh proses, namun pada akhirnya wanita kelahiran 8 Juli 1947 ini berhasil melaluinya. Ia pun mengaku sudah berdamai dengan anak Njoto dan juga Ilham, anak Aidit.

Dalam mengenang momen pilu 52 tahun silam ini sosok Catherine Pandjaitan sangat wajib untuk dijadikan panutan. Ia merupakan seorang yang mengetahui secara langsung bagaimana tragedi itu terjadi namun sudah memaafkan dan mengikhlaskan kejadian yang merenggut nyawa ayahnya tersebut. Seharusnya, rakyat Indonesia bersatu dan melangkah ke depan seperti yang dikatakan Catherine, tidak perlu lagi menyebar kebencian, sejarah ada juga untuk dijadikan pelajaran, bukan terus menerus menyimpan dendam.

Written by Harsadakara

English Literature Graduate. A part time writer and full time cancerian dreamer who love to read. Joining Boombastis.com in August 2017. I cook words of socio-culture, people, and entertainment world for making a delicious writing, not only serving but worth reading. Mind to share your thoughts with a cup of asian dolce latte?

Leave a Reply

5 Fakta di Balik Single Terbaru Agnez Mo yang Pastinya Bikin Indonesia Bangga

7 Eskrim Nyeleneh Ini Bahannya Nggak Bakal Pernah Kamu Bayangkan, Ada yang dari ASI Lho