Masjid Istiqlal yang bediri megah di jantung Ibukota Jakarta, menjadi salah satu rumah ibadah yang memiliki sejarah unik di balik pembangunannya. Tak hanya sekedar berdiri, masjid yang memiliki arti “Merdeka” itu, dirancang dan diarsiteki oleh seorang non-muslim yang bernama Friedrich Silaban. Bahkan, seperti yang dikutip dari historia.id, ia sempat mengalami pergulatan batin karena dirinya adalah seorang penganut Kristiani.
Meski demikian, dirinya sukses membangun masjid yang menjadi salah satu tempat ibadah umat Islam terbesar di Asia Tenggara itu. Pada saat itu, karyanya terpilih sebagai pemenang lewat sebuah sayembara pimpinan oleh Sukarno, yang juga bertindak sebagai ketua juri. Lewat sketsanya yang bersandi “Ketuhanan”, inilah perjalanan Friedrich Silaban yang juga anak seorang pendeta, dalam merancang Masjid Istiqlal.
Dipilih oleh Sukarno yang saat itu menjadi ketua juri lewat sistem sayembara
Dikutip dari tirto.id, semua berawal ketika berbagai kelompok Islam di Indonesia menghendaki sebuah Masjid Nasional pada 1950. Gambaran tempat ibadah yang berukuran besar dan luas dan dibangun di pusat pemerintahan seperti kebanyakan di alun-alun di kota-kota Pulau Jawa, menjadi sebuah mimpi yang ingin segera direalisasikan pada saat itu. Hingga pada akhirnya, rencana besar tersebut sampai ke telinga Menteri Agama Kyai Haji Wahid Hasyim dan Politisi Sarekat Islam Anwar Tjokroaminoto.
Tak lama, sayembara pun dilaksanakan sejak 22 Februari 1955 hingga 30 Mei 1955, di mana Sukarno duduk sebagai ketua juri. Dari 30 peserta yang ikut, hanya 27 peserta saja yang menyerahkan sketsa dan maketnya, dan kemudian disaring lagi hingga mengerucut menjadi 5 kontestan. Hingga pada 5 Juli 1955, dewan juri akhirnya menetapkan desain bersandi “Ketuhanan” miliki Friedrich Silaban yang notabene seorang Nasrani, keluar sebagai pemenang.
Sosok arsitek lulusan sekolah Belanda yang sempat berkecimpung di dunia militer
Sebagai pemenang, masjid rancangan Silaban akhirnya diwujudkan dalam bentuk nyata hingga berdiri kokoh dan diberi nama Istiqlal. Menurut Buku Rumah Silaban (2008) yang dikutip dari laman tirto.id menuliskan, Friedrich Silaban merupakan anak dari .Pendeta Djonas Silaban. Pria kelahiran Bonandolok, Tapanuli pada 16 Desember 1912 itu, merupakan seorang arsitek lulusan Sekolah Teknik Koningen Wilhelmina School, Jakarta. Di sekolah kolonial itulah, ia mulai tertarik mempelajari arsitektur.
Lulus dari KWS pada usia 19 tahun, Silaban yang sempat merasakan bekerja di Kantor Departemen Pekerjaan Umum kolonial, masuk ke dinas militer Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) milik Belanda. Di sana, ia ditempatkan di unit zeni yang berhubungan dengan konstruksi dan segala hal yang berbau bangunan. Bahkan, saat dikirim ke Pontianak, ia sempat menjadi perwira yang mengepalai bagian teknik. Padahal, Silaban belajar ilmu arsitektur secara otodidak tanpa pernah mengecap bangku kuliah atau sekolah tinggi.
Menelurkan berbagai karya arsitektur dan dianugerahi penghargaan oleh negara
Selama menekuni profesi sebagai arsitek, Silaban banyak menelurkan karya-karya arsitektur yang monumental. Selain Masjid Istiqlal, ia juga berada di balik berdirinya bangunan seperti tugu khatulsitiwa Pontianak, Tugu Selamat Datang Bundaran HI, TMP Kalibata, Monumen Nasional (Monas), Gedung Bank Indonesia (BI), dan Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK).
Karya di atas, dihasilkan olehnya lewat perjuangan dan pengalaman panjangnya sebagai arsitek setelah Indonesia meraih kemerdekaannya. Sebelum memenangkan sayembara merancang Masjid istiqlal, Silaban sempat memenangkan proyek berupa rancang bangun rumah wali kota Bogor dan sebuah hotel di daerah pegunungan pada 1935. Kala itu, ia tengah aktif berdinas di kemiliteran Belanda dan masih berusia 23 tahun. Atas jasa-jasanya yang diberikan, pemerintah pun menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Jasa Sipil – Bintang Jasa Utama.
Simbol toleransi yang sejatinya telah mengakar sejak dulu di Indonesia
Hebatnya lagi, sayembara pembangunan Masjid Istiqlal yang tegolong prestisius itu berhasil dimenangkannya tanpa ada “kasak-kusuk” yang mempertanyakan kepercayaan yang dianut sang arsitek sebagai pemenang. Memang ada sedikit perdebatan, namum hal tersebut tak berlangsung lama. Seperti dituliskan oleh laman historia.id. sayembara masjid nasional di tahun 1954-55 tidak meributkan asal-usul atau agama si perancangnya. Bahkan, pemenang juara ketiga sayembara masjid Istiqlal dimenangkan oleh Han Groenewegen, arsitek asal Belanda yang Kristen,
Dengan ditunjuknya Friedrich Silaban sebagai arsitek perancang Masjid Istiqlal, hal ini secara tidak langsung telah menunjukkan fungsi daripada Pancasila yang, menjadi dasar jalannya Indonesia. Meski berbeda keyakinan, Silaban yang beragama Nasrani mau merancang rumah ibadah yang notabene bukan sekeyakinan dengan dirinya. Sebaliknya, pihak panitia penyelenggara juga tak mempermasalahkan hal tersebut, karena yang dilihat adalah kemampuan dan karya Silaban sebagai arsitek, bukan keyakinan yang dianut.
BACA JUGA: Kokoh Hingga Kini, Inilah Rahasia Konstruksi Belanda Lebih Kuat Dari Bangunan Jaman Now
Di balik kemegahan Masjid Istiqlal yang masih bisa kita saksikan hingga saat ini, tak disangka tempat ibadah bagi umat Islam itu merupakan buah karya dari seorang non-muslim bernama Friedrich Silaban . Tak hanya itu, ia juga sukses menelurkan beragam karya aristektur lainya di beberapa wilayah Indonesia. Terlepas dari karya-karya yang dihasilkan oleh dirinya, Masjid Istiqlal menjadi salah satu masterpiece yang secara tak langsung menyiratkan bahwa toleransi itu benar-benar Indah.