Keberadaan turis asing alias bule di indonesia terkadang membawa masalah tersendiri. Jauh dari kesan positif, para pelancong ini malah berbuat keonaran di negeri orang. Seperti yang dilansir dari news.detik.com, Warga negara (WN) asal Inggris yang bernama Auj-e Taqaddas akhirnya dihukum 6 bulan penjara karena menampar staff Imigrasi Bali. Dalam video, Ia bahkan terlihat berontak dan memaki petugas yang akhirnya menangkap dirinya.
Tak hanya sosok Auj-e Taqaddas di atas, sejumlah bule lainnya juga pernah bikin masalah di Bali. Salah satunya adalah sosok Amokrane Sabet, yang akhirnya meregang nyawa setelah diterjang timah panas oleh pihak kepolisian setempat. Meski Indonesia dikenal sebagai negara hukum, namun para pendatang asing tersebut seolah mempunyai ‘nyali’ untuk melanggar hal tersebut. Ada apa sebenarnya?
Bukan rahasia umum, masih banyak masyarakat di Indonesia yang memposisikan Bule sebagai figur yang ‘diistimewakan’ dan dianggap mempunyai sesuatu yang menarik. Padahal, mereka bisa jadi hanyalah orang biasa di negerinya. Bukan artis, selebriti maupun superstar yang banyak dikenal.
Menurut pengalaman pribadi penulis, sikap ‘mengistimewakan’ bule ini terlihat jelas saat mereka berada di tengah-tengah keramaian. Meski bukan artis, banyak juga yang ingin mengajak para pelancong kulit putih itu untuk foto bersama. Bisa jadi, orang-orang Eropa non Asia di luar Indonesia yang selama ini hanya bisa disaksikan lewat video maupun televisi, seakan hadir menjadi kenyataan-dan sayang untuk dilewatkan.
Mulai dari basa-basi ingin berkenalan dengan bahasa Inggris belepotan hingga menggunaan gerakan isyarat tubuh, adalah cara dari masyarakat kita untuk berinteraksi.Jika dirasakan, hal ini ternyata berkaitan erat dengan masa lalu Indonesia sebagai negara bekas jajahan bangsa kulit putih. Sikap inferior bangsa ini sejatinya telah terbentuk dan diturunkan dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Akademisi sekaligus mahasiswa doktoral di The University of Queensland, Ahmad Rizky Mardhatillah Umar yang dilansir dari tirto.id mengatakan, ada dua penjelasan pokok dalam yang melatarbelakangi masyarakat lokal ingin foto bareng bule asing. Pertama adalah soal cara berpikir rasial yang melekat dalam cara warga di Indonesia dan negara bekas jajahan lain memandang orang kulit putih. Kedua, produk visual dengan sajian budaya ala kulit putih yang semakin masif di media.
Kebiasaan yang masih menganggap bule adalah sosok ‘Superior’ dan menganggap diri ‘inferior’ di negeri sendiri, tentu bukankah pola pikir yang baik. Terutama untuk jangka panjang ke depan. Tak heran, sifat semacam ini terkadang menjadi celah bagi pelancong asing tersebut untuk berbuat seenaknya. Merasa sebagai sosok yang seolah memiliki kekuasaan dan meremehkan orang lokal yang dianggap berada ‘di bawah’ standar dirinya.
Lihat saja kelakuan Auj-e Taqaddas dan Amokrane Sabet sepert yang dituliskan di atas. Mungkin, bukan hanya mereka saja yang terbukti melakukan serangkaian tindakan semena-mena dan melawan hukum. Entah masih ada berapa banyak orang-orang asing di luar sana yang juga ‘tak merasa takut’ dengan hukum di negeri ini. Entahlah.
BACA JUGA: Mengapa Bule Selalu Menjadi Sosok Istimewa? Padahal Mereka Kadang Juga Bukan Siapa-siapa
Boleh saja jika ingin berkenalan maupun , tapi jangan merasa rendah diri di hadapan mereka. Terkadang, ada saja Bule yang datang ke Indonesia dang menganggap warga lokal setempat negeri ini bakal ‘takut’ pada mereka. Jika sudah begini, ‘jalan’ untuk berbuat semena-mena oleh para pendatang tersebut bakal terbuka semakin lebar.