Cersil atau Cerita Silat, adalah sebuah hiburan unik bagi masyarakat Indonesia di era 80an dan 90an. Bacaan ini dinikmati oleh segala kalangan mulai dari yang kelas bawah sampai atas. Dari anak-anak hingga orang dewasa. Dari tua maupun muda. Hampir semua orang menggemari Cersil di kala itu.
Awalnya Cersil merupakan terjemahan dari karya-karya penulis terkenal daerah Tiongkok. Para penerjemah Indonesia keturunan Tiongkok menerjemahkan kisah-kisah ini untuk dimuat di surat kabar berbahasa China untuk WNI keturunan di Indonesia. Tetapi karena kisah-kisah ini kemudian disukai banyak kalangan, akhirnya dibuatkan cetakan tersendiri berupa buku.
Kisah-kisah petualangan para pendekar dunia persilatan ini amat sangat digemari, bahkan konon presiden Soeharto juga menggemarinya, dan suka banget dengan novel silat berjudul ‘Luxiang Hudie Jian‘ karya novelis Gu Lung (Khu Lung) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul ‘Antara Budi dan Cinta‘.
Di era 60 sampai 90an, cersil dicetak dengan berbagai bentuk dan macam. Para penerbit pun berebutan menerbitkan cerita silat. Tentu saja para penerjemah pun rebutan untuk menerjemahkan cersil dari Tiongkok ini. Karena desakan pasar yang gila-gilaan, terkadang beberapa penerbit yang berbeda menerbitkan kisah cersil yang sama, hanya judulnya saja yang diubah sedikit.
Pada era di mana copyright dan hak cipta adalah sesuatu yang ‘asing’ di Indonesia, maka para penerbit ini dengan santai saja menerbitkan cersil terjemahan tanpa mencantumkan nama pengarangnya. Justru malah mencantumkan nama penerjemahnya untuk menghindari urusan royalti. Karena itulah sering timbul kerancuan siapa sebenarnya yang mengarang sebuah cerita, karena penerbit yang berbeda akan memberi judul yang berbeda dan nama penerjemah yang berbeda pula pada terbitan sebuah kisah yang sama.
Meskipun begitu, berkat penerbitan ‘gelap’ seperti inilah, Indonesia mulai dibanjiri trend silat yang bertahan sampai 30 tahun sejak tahun 60an. Di negeri asalnya, cersil adalah sebuah karya sastra yang cukup diakui dalam dunia kesusasteraan. Tetapi di sini, cersil seperti dianggap sebagai bacaan picisan. Berbeda dengan negeri asalnya yang bahkan memasukkan karya-karya ini dalam bahasan kurikulum sekolah mereka. Malahan ada karya yang bahasan di dalam dunia politik.
Ada banyak nama penulis Tiongkok yang memiliki karya abadi yang masih dibaca sampai sekarang seperti Chin Yung (Jin Yong) yang memiliki gaya menulis sastra yang indah dengan karya trilogi Rajawali yang terkenal dengan tokoh Kwee Ceng, Oey Yong, Yoko dan Bibi Lung serta Thio Bu Kie. Ada pula Gu Long (Khu Lung) yang gaya menulisnya flamboyan serta berbumbu detektif dengan tokoh-tokoh terkenalnya seperti Pendekar Harum, Pendekar 4 Alis, dan Pendekar Kembar.
Begitu menggilanya ketenaran cersil ini sampai-sampai dibuatkan film dan serial TV nya. Dan yang lebih heboh lagi, film dan serial TV ini masih sering dibuat setiap tahunnya dengan pemeran yang berbeda. Di era 80an dan 90an di Indonesia, serial-serial ini sangat laris dalam bentuk kaset video VHS atau Betamax.
Karena cersil semakin digemari secara luas, banyak para penulis asli Indonesia yang kemudian menuliskan cerita silat sendiri. Seperti Bastian Tito dengan karya Wiro Sablengnya, Herman Pratikto dengan Bende Mataram, dll. Bahkan sastrawan Indonesia yang terkenal seperti Seno Gumira Aji, Motinggo Busye, Ahmad Tohari, dan Arswendo Atmowiloto pun membuat pula cersil ini. Ada pula yang berkarya melalui sandiwara radio seperti Saur Sepuh atau Tutur Tinular.
Ada satu penulis cersil asal Indonesia bernama Kho Ping Hoo yang karyanya mencapai ratusan novel yang sambung menyambung. Sampai-sampai seluruh cetakan buku silat disebut dengan istilah ‘Kho Ping Hoo’ entah siapapun pengarangnya. Buku-buku kecil ini sangat legendaris dan sampai sekarang masih disewakan di persewaan buku. Dan juga masih dicetak ulang. Menurut para penggemarnya, meskipun tulisan Kho Ping Hoo banyak membuat kekeliruan dalam hal sejarah, kisah yang ia tuliskan sangatlah menarik dan membuat ketagihan. Tak dapat berhenti sebelum tuntas membacanya.
Sayangnya di jaman sekarang, cersil sudah sangat kehilangan penggemarnya. Tetapi masih ada sebagian kalangan yang membentuk komunitas tersendiri untuk melestarikan penerbitan ulang, penerjemahan ulang dengan ejaan yang disempurnakan, serta bahkan ada penulis muda yang mencoba menulis dan menerbitkan karyanya sendiri karena banyak penerbit yang menolak untuk menerbitkan cerita mereka.
Akankah Indonesia kembali mengalami kejayaan cerita silat yang mengajarkan kejujuran, sikap gagah berani dan kepahlawanan kepada anak-anak Indonesia? Mari kita berdoa saja.