Negara Indonesia memang memiliki banyak kekayaan di dalamnya. Tetapi di samping itu masih banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jangankan mencari tempat tinggal yang layak, untuk makan setiap harinya saja susah. Terkadang mereka yang mengalami hal miris itu merasa jika bisa hidup saja sudah untung.
Kejadian yang memilukan itu sering sekali terlambat mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Biasanya disebabkan oleh daerah yang sulit untuk dijangkau. Seperti peristiwa yang dialami oleh Kakek Borahima yang berada di Dusun Garassi, Sulawesi Selatan ini yang hidup kesusahan tanpa memiliki sanak saudara.
1. Hidup di gubuk yang jauh dari kata layak
Kakek Borahima kesehariannya hidup di gubuk tua yang ia buat sendiri. Rumah yang ia tempati dindingnya terbuat dari tumpukan pelepah kelapa yang sudah tak terpakai lagi. Sedangkan atapnya berasal dari potongan seng bekas yang ia dapatkan dari beberapa tetangganya. Jika hujan turun, kakek yang berusia 68 tahun ini menambal gubuknya agar tidak bocor. Bukan dengan semen atau papan triplek, tetapi hanya menggunakan plastik jika benda itu tersedia. Kalau tidak ada, maka ia harus menambal dengan potongan seng bekas yang berasal dari atap gubuknya sendiri.
2. Menjalani hidup sendirian tanpa ditemani siapapun
Pria tua ini sudah hidup sebatangkara sejak belasan tahun yang lalu. Sebenarnya ia dahulu mempunyai keluarga yaitu istri dan anaknya. Tetapi itu semua berubah ketika Tuhan memiliki jalan lain untuknya. Pasangan hidupnya meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Dan sedangkan anaknya telah menikah tetapi ia memilih untuk hidup bersama keluarga barunya. Sampai saat ini para tetangga tak pernah melihat anak dari Kakek Borahima datang untuk sekedar melihat keadaan ayahnya. Mungkin ia juga tak mengetahui kalau orangtuanya sedang dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
3. Bertahan hidup dengan mencari kelapa yang jatuh
Sang kakek yang tubuhnya tak kuat lagi hanya mengandalkan buah kelapa yang jatuh untuk bertahan hidup. Buah-buah yang telah jatuh dari pohonnya ini ia kumpulkan untuk membeli sembako. Biasanya Kakek Borahima menunggu kelapa sampai berjumlah sepuluh lalu ia jual kepada pedagang di sekitar tempat ia tinggal. Harga jual buah ternyata sangat jauh dari kata murah yaitu hanya Rp500. Jadi bisa dikatakan kalau uang yang didapatkan kakek hanya Rp5000 setelah menjual 10 kelapa.
4. Pasrah ketika tak ada kelapa yang jatuh
Ternyata buah kelapa tak tentu kapan jatuh dari pohonnya. Hal ini yang membuat Kakek Borahima jarang sekali makan. Jika tidak ada kelapa yang jatuh, maka ia terpaksa untuk berpuasa. Dan puasa itu ia lakukan tanpa tau sampai kapan berbukanya. Melihat hal ini, para tetangga terketuk hatinya untuk menyumbangkan beras atau makanan jadi kepada Kakek Borahima. Karena jika bukan dari para tetangga yang mengulurkan tangan ya siapa lagi yang akan membantu.
5. Pernah menjadi seorang nelayan untuk menyambung hidup
Pada saat umur masih produktif, Kakek Borahima tidak bekerja sebagai pengumpul buah kelapa seperti sekarang ini. Ia ternyata berprofesi sebagai nelayan. Tetapi karena badannya yang sudah tak kuat lagi dan ia juga sering sakit-sakitan, menyebabkan pria tua ini berhenti dari pekerjaan itu. Sehingga saat ini, Kakek Borahima hanya bisa mengandalkan buah kelapa yang jatuh serta uluran tangan dari tetangga dan pemerintah setempat.
Kehidupan Kakek Borahima yang tinggal sebatangkara ini membuat banyak orang menitikkan air mata. Kesendirian yang dialami pria tua ini semakin mengingatkan pada orangtua kita sendiri. Sehingga jangan pernah melupakan kebaikan yang telah dilakukan oleh ayah dan ibu kita. Jangan sampai, orangtua kita mengalami hal yang serupa dengan Kakek Borahima ini.