Sebagai negara yang masyarakatnya memiliki berlatar belakang beranekaragam budaya dan keyakinan, Indonesia tak lepas dari kasus yang bernada SARA dan provokasi sejenisnya. Tentu saja, hal ini sangat berbahaya bagi eksistensi masyarakat dan negara karena rentan menjadi pemecah belah persatuan yang telah dibangun sejak lama.
Dilansir dari tirto.id, sosok Slamet Juniarto yang merupakan seorang pekerja seni, ditolak oleh warga RT 08, Padukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta untuk tinggal di wilayahnya karena ia beragama non-muslim. Tak hanya Slamet, kasus intoleransi karena perbedaan keyakinan di bawah ini juga tak kalah mirisnya.
Acara sedekah laut yang diacak-acak oleh sekelompok orang tak dikenal
Meski telah menjadi bagian dari tradisi turun temurun bagi masyarakat Jawa, Sedekah Laut tampaknya menjadi suatu kegiatan yang juga tidak berkenan bagi kelompok lainnya. Seperti yang dikutip dari regional.kompas.com, sekelompok orang tak dikenal melakukan pengrusakan terhadap acara persiapan sedekah laut yang dilakukan oleh warga di Pantai Baru, Srandakan, Bantul, Yogyakarta pada 2018 silam.
Tak hanya melakukan pengrusakan, kelompok tersebut menolak karena acara tersebut dinilai syirik dan bertentangan dengan agama. Dikutip pula dari laman news.detik.com, mereka yang tidak setuju atas penyelenggaraan acara sedekah laut, juga memasang sebuah spanduk yang isinya menolak segala bentuk kesyirikkan yang dibalut dengan budaya.
Pemotongan nisan bertanda salib yang hebohkan Kota Yogyakarta
Tak hanya acara sedekah laut yang dibubarkan, nisan makam yang menunjukkan simbol-simbol agama juga sempat menjadi permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Laman tirto.id menuliskan, makam seorang warga bernama Albertus Slamet Sugihardi dipotong bagian atas oleh warga RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede. Alhasil, kasus ini bahkan sempat viral dan membuat warganet heboh.
Usut punya usut, pemotongan itu terjadi lantaran pemakaman umum di area desa tersebut tidak membolehkan ada simbol-simbol agama Nasrani. Meski demikian, mengatakan pemotongan salib sudah jadi “kesepakatan” antara warga, keluarga almarhum, tokoh agama, serta tokoh masyarakat. Menurut Bejo Mulyono, yang dianggap sebagai “tokoh masyarakat” Purbayan, dikutip dari tirto.id mengatakan, areal kuburan umum sejatinya akan diubah menjadi pemakaman muslim meski belum resmi. Karena darurat, Slamet yang beragama Nasrani boleh dimakamkan di sana dengan syarat letaknya dipinggirkan dan tidak memakai simbol salib.
Slamet Juniarto ditolak tinggal di sebuah desa karena berkeyakinan non-muslim
Peristiwa penolakan karena beda agama juga menimpa diri seorang Slamet Jumiarto. Dilansir dari tirto.id, ia merupakan pendatang baru yang ditolak untuk tinggal oleh warga RT 08, Padukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta di wilayahnya karena beragama non muslim. Hal tersebut terjadi lantaran adanya aturan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kelompok Kegiatan (Pokgiat) untuk pendatang baru.
Dalam aturan yang tertulis, setiap pendatang baru yang hendak bermukim di wilayah tersebut harus beragama Islam. Penolakan Slamet terjadi saat dirinya memberikan fotokopi KTP, KK dan surat nikah. Karena keluarganya beragam Kristen dan Katolik, ia pun ditolak untuk tinggal di kawasan tersebut. “Saya menemui Pak RT untuk izin memberikan fotokopi KTP, KK dan surat nikah. Karena kami ini begitu dilihat kami non-muslim, Katolik dan Kristen, maka kami ditolak sama Pak RT 08,” kata Slamet yang dikutip dari tirto.id.
BACA JUGA: 4 Fakta Kasus Pemotongan Nisan Salib di Pemakaman Yogyakarta yang Hebohkan Masyarakat
Selain konflik militer dengan negara lain, isu SARA dan provokasi berlatar belakang sejenis bisa menjadi ancaman ‘halus’ yang sanggup meruntuhkan sendi-sendi persatuan masyarakat. Dari hal ini, imbasnya tentu negara akan hancur karena keberagaman dan toleransi yang dinaungi oleh Pancasila, tidak lagi dihayati dan dijalankan oleh masyarakat di dalamnya. Gimana menurutmu Sahabat Boombastis?