Masyarakat luas telah hafal di luar kepala tentang sosok Kartini jika dikaitkan dengan emansipasi wanita. Pemikiran-pemikirannya yang mendobrak adat dan tradisi yang mengekang hak wanita untuk memperoleh pendidikan dan berpartisipasi aktif dalam berbagai sisi kehidupan, begitu menggema. Namun tentang perjalanannya memahami agama yang dianut Kartini, tak banyak yang tahu.
Perempuan kelahiran Jepara ini sejak belia gemar bersosialisasi dengan teman-teman yang notabene berbeda agama dengannya. Maka tak heran jika beberapa pihak menyebutkan bahwa pemikiran kebarat-baratan yang ada dalam tulisannya terpengaruh oleh teman-temannya tersebut. Hal ini pun dipengaruhi pendidikan agama yang minim dalam keluarganya kala itu. Namun dalam perjalanan hidupnya Kartini menemukan agama Islam bahkan sempat berguru pada ulama kenamaan Pulau Jawa pada masa itu.
Meski Beragama Islam, Kartini Awalnya Malas Baca Al-Qur’an
Diketahui dari salah satu suratnya, Kartini malas untuk membaca Al-Qur’an. Sebab di zaman itu, orang-orang hanya diajari membaca tanpa tahu apa sebenarnya makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Ditambah lingkungan keluarga yang tak banyak memberikan situasi yang religius, serta teman-teman yang kebanyakan berbeda agama membuat Kartini jauh dari ajaran Islam. Salah satu tulisan Kartini, “…Orang-orang di sini belajar membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang yang diajar membaca tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya?” (Surat kepada Stella, 06 Nopemberr 1899)
Mendapat Pencerahan Saat Mendengar Pengajian Di Rumah Pamannya
Kartini dikenal kerap berkunjung ke rumah salah seorang pamannya yang merupakan Bupati Demak bernama Pangeran Ario Hadiningrat. Dan di satu kunjungannya, bertepatan dengan berlangsungnya pengajian bulanan. Kartini pun turut mengikuti acara tersebut dan mendengarkan dari balik tabir. Kala itu dibahas tentang tafsir surat Al-Fatihah, Kartini pun merasa tergugah dan amat tertarik pada bahasan itu. Ternyata orang yang memberi materi pengajian adalah seorang Kyai bernama Sholeh Darat. Kartini pun sangat penasaran terhadap sosok tersebut berikut apa-apa yang disampaikan.
Mulai Berguru Kepada Kyai Sholeh Darat
Diketahui pengajian pertama Kyai Sholeh Darat yang diikuti Kartini di rumah Bupati Demak membuatnya tergugah sekaligus penasaran. Kemudian Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk bertemu dengan sang Kyai. Seakan bertemu orang yang tepat, ternyata Kyai Sholeh Darat mempunyai kitab-kitab beserta terjemahannya dalam Bahasa Jawa. Kartini pun merasa sangat bahagia dan dari sinilah mulanya sang tokoh emansipasi mengerti Islam dengan sesungguhnya. Sejak saat itu, Kartini rajin mengikuti pengajian rutin dilakukan di rumah pamannya. Semakin hari, pemahamannya terhadap Islam kian bertambah.
Kyai Saleh Darat sendiri merupakan ulama dengan nama lengkap Muhammad Salih ibn Umar Al-Samarani. Sang kyai adalah pengelola pesantren di daerah Darat, Semarang yang kini masuk di Kelurahan Dadapsari Jawa Tengah. Semasa muda, Kyai Saleh mengaji kepada banyak ulama di Jawa. Tak hanya itu, dirinya pun belajar ke Mekkah. Setelah kembali ke Jawa, sang kyai pun menyebarkan ilmu agamanya ke berbagai wilayah Indonesia.
Terbukanya Pemahaman Islam yang Baik Dalam Diri Kartini
Pemahaman Kartini semakin baik dan memandang banyaknya nilai-nilai positif yang terkandung dalam agama Islam. Apalagi saat Kartini menikah dengan suaminya, Kartini pun diberikan semua kitab-kitab berbahasa Jawa oleh Kyai Saleh Darat. Seperti pada salah satu surat yang Kartini tulis, “Seorang tua di sini karena girangnya menyerahkan kepada kami semua kitab-kitabnya naskah bahasa Jawa, banyak pula yang ditulis dengan huruf Arab. Kami pelajarilah kembali membaca dan menulisnya”
Selain itu dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada Nyonya Abendanon tertanggal 21 Juli 1902 ia menuliskan, “Yakinlah nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami patut disukai”.
Begitulah perjalanan kehidupan Kartini sampai menemukan keyakinan yang begitu mantap terhadap agama Islam. Tentu dalam hal ini peran sang paman dan Kyai Saleh Darat juga amat besar. Dan saat Kartini meninggal dunia, besar kemungkinan sudah dalam keyakinan yang kuat terhadap Islam.