Kalau di Indonesia, menikah seolah ibarat perlombaan. Menginjak usia di atas 20 tahun, setiap pulang ke rumah remaja perempuan selalu ditanya oleh keluarga, tetangga, bahkan teman tentang “kapan nikah?”. Kalau sudah mendekati usia 30 tahun tetapi belum juga berkeluarga, ada saja orang yang mengatakan bahwa seseorang akan menjadi perawan tua, serta hal lain yang menyakitkan hati.
Padahal, menikah itu bukan pula keharusan, keperempuanan seorang wanita itu tidak dinilai dari sudah punya suami atau belum, berapa jumlah anak, atau usia berapa mendapat cucu. Lagian, rasanya setiap wanita ingin punya kebahagiaan sendiri-sendiri, menikah adalah salah satu di antaranya.
Nah, hal ini kontras sekali dengan apa yang terjadi di Korea Selatan. Ya, di negeri penghasil idol ini pemerintahnya kelimpungan karena cewek-cewek di sana semakin bodo amat terkait pernikahan. Mereka ramai-ramai mengampanyaken #NoMarriage demi melawan tekanan buru-buru nikah yang diserukan oleh pemerintah.
Bagi mereka, menikah hanya akan menghambat karier
Ya, rasanya memang kesal kalau terus menerus dipaksa untuk menikah, apalagi kalau belum ada calon yang pas di hati. Kegelisahan inilah yang dirasakan oleh para perempuan di Korsel. Selain mungkin belum punya pasangan, mereka menilai bahwa menikah dan punya anak akan membatasi mereka dalam membangun karier. Ya, sebagai seorang ibu dan istri, masa iya anak dan suami tidak diurus, kan? oleh karena itulah, pemerintah mendesak para perempuan yang malas menikah, karena cepat atau lambat, Korsel bakal kehilangan penduduknya jika hal ini dibiarkan terjadi. Nggak bayangin puluhan tahun ke depan, populasi mereka tinggal segelintir aja.
Korea Selatan sebagai negara yang punya tingkat kelahiran paling rendah
Bagi banyak generasi muda Korsel, menikah bukan jadi tujuan penting dalam hidup mereka, malah mungkin sudah dianggap sebagai hal yang tak penting lagi. Hal ini dibuktikan dengan data yang menyebutkan jika tingkat kelahiran di Korsel semakin tahun semakin turun drastis. Di antara negara maju lain, mengutip Hipwee.com berdasar pada data World Bank, tingkat kelahiran Korsel ini jadi yang terendah loh. Kalaupun menikah, mungkin ada pula yang menunda untuk punya anak dan fokus dengan karier masing-masing dulu, sehingga angka kelahiran semakin rendah.
Kampanye # NoMarriage sebagai bentuk perlawanan
Tujuan utama pemerintah gencar memaksa penduduknya buat menikah dan punya anak adalah demi menyelamatkan ekonomi negara. Jika dibiarkan, Korsel bisa kekurangan populasi penduduk usia produktif, yang jelasnya berakibat buruk pada perekonomian di sana. Sekarang saja, sudah banyak sekolah yang tutup karena kekurangan murid. Ada pula usaha sewa gedung pernikahan yang gulung tikar karena orang banyak yang tak mau menikah. Namun, setelah dipaksa, para perempuannya bukannya patuh, mereka malah menolak. Melansir Vic.com, sebuah organisasi EMIF atau singkatan dari “Elite without Marriage, I am going Forward” memopulerkan tagar #NoMarriage yang sudah banyak mendapat perhatian sampai luar negeri.
Solusi pemerintah tak membuat puas generasi muda
Dari masalah di atas, kita bisa melihat bahwa sebagian besar anak muda yang malas menikah adalah karena takut kehilangan pekerjaan/karier/cita-cita mereka. Sedangkan pemerintah sejauh ini baru membuka biro jodoh sebagai soluisnya. Mungkin harus ada kajian ulang di mana para perempuan terjamin tetap bisa punya karier setelah punya anak. Atau mungkin dibuka penitipan anak gratis agar wanita yang punya baby tak lagi khawatir akan anak mereka saat ditinggal kerja.
BACA JUGA:
Membayangkan deh kalau para perempuan ini berada di posisi para perempuan Indonesia yang selalu diuber dan selalu disuruh cepat menikah. Pasti pusing tujuh keliling dan stress banget ya, kan?