Saat memasuki usia senja, menikmati sisa hidup di hari tua merupakan aktivitas rutin bagi mereka yang telah berusia lanjut. Namun demikian, ternyata masih banyak yang justru mengisi sisa-sisa hidup mereka dengan bekerja keras. Tak jarang, meski rambut telah memutih dan badan terasa rapuh digerogoti usia, mereka masih tetap berusaha untuk tegar dalam mengarungi hari-harinya.
Fakta tersebut melekat erat pada sosok tua nan renta ini. Mistam, nama kakek tersebut. Di usianya yang tak lagi muda, ia tetap giat menjemput rezekinya dengan berjualan bensin di pinggir jalan. Yang mengharukan, kakek Mistam juga merupakan seorang penyandang tunanetra. Meski berada dalam kondisi demikian, ternyata masih ada saja manusia berhati sampah yang tega menipu pria renta tersebut. Seperti apa sosok kakek Mistam melewati kesehariannya? Simak ulasan berikut.
Obat merah membuat bola matanya pecah
Saat kejadian nahas itu terjadi, kakek Mistam masih berusia empat tahun. Sang Ayah yang merupakan seorang Tentara berpangkat sersan Mayor, terpaksa memindahkan keluarganya, termasuk kakek Mistam. Ikatan dinas lah yang mengharuskan dirinya ikut pindah saat itu. Di tahun 50-an, keadaan politik di Indonesia sedang tak menentu karena banyaknya peristiwa pemberontakan yang terjadi. Pemberontakan DI/TII yang dilancarkan oleh Kartosuwiryo, membuat kakek Mistam harus bersabar menahan sakit panas dan gangguan pada mata yang dideritanya.
Karena kondisi sedang genting, kakek Mistam tidak diizinkan untuk keluar dari areal asrama Tentara yang ditinggalinya karena kondisi darurat militer. Untungnya, ada seorang perwira yang berpangkat letnan, mengupayakan bantuan untuk Mistam kecil agar mendapatkan pengobatan yang layak. Sayangnya, karena kurang teliti, Mistam kecil terkena cairan obat merah yang tak sengaja tertuang di matanya. Alih-alih sembuh, obat merah yang digunakan untuk menyembuhkan luka tersebut, membuat bola matanya panas dan pecah.
Bertahan hidup dengan berjualan bensin
Setelah pulih dari operasi yang ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah, Mistam kecil harus ikhlas kehilangan sebelah matanya. Alhasil, dirinya pun hanya mengandalkan mata satu-satunya yang masih berfungsi sebagai penglihatan. Di era 70-an, kakek Mistam yang beranjak usia remaja, mencoba peruntungan sebagai penjual bensin. Bahkan dirinya sanggup menjual 100 hingga 200 liter per harinya.
Menggeluti profesi tersebut selama kurang lebih 50 tahun, kakek Mistam merasa bersyukur mempunyai penghasilan tetap dari usahanya. Bahkan, dari hasil sebagai penjuak bensin itulah, dirinya bisa menghidupi istri beserta anak-anaknya. Perubahan zaman yang berlalu begitu cepat, sedikit-demi sedikit mengikis penghasilan kakek Mistam. Jika dahulu ia mampu menjual ratusan liter bensin dalam sehari, kini ia harus puas dengan angka 40 hingga 50 liter perhari.
Kehilangan penglihatan yang menjadi ujian hidup
Di penghujung usianya yang tak lagi muda, kakek Mistam harus menanggung beban hidup yang cukup berat. Selain tubuhnya yang kian renta termakan usia, pria 67 tahun tersebut harus merelakan kedua penglihatannya. Satu mata kehilangan fungsinya semenjak ia kecil, satu fungsi mata lainnya mulai memudar seiring usianya yang bertambah tua.
Tak jarang, sebuah keluhan terucap dari mulutnya yang telah keriput tersebut. Namun, kakek Mistam berusaha lebih tegar dalam menjalani setiap episode kehidupannya. Siraman rohani dari ceramah agama yang biasa ia dengar, menjadi salah satu penyemangat hidup yang membuatnya bertahan hingga kini.
Ditipu pembeli bensin hingga kehilangan jeriken
Fisik yang renta dan ditambah dengan kedua penglihatan yang tak lagi berfungsi, ternyata tidak membuat semua orang merasa iba pada kakek Mistam. Ada saja sekian kejadian negatif yang menghampiri pria tersebut. Karena tidak bisa melihat, hal tersebut kadang dimanfaatkan oleh orang berhati busuk untuk berbuat curang. Orang-orang tersebut membayar pak Mistam dengan uang yang tidak sesuai dengan jumlah liter bensin yang dijualnya.
Tak cukup disitu. Dengan memanfaatkan celah kepolosan seorang kakek Mistam, terkadang mereka mengisi bensin sembari beralasan meminjam jeriken miliknya. Setelah ditunggu sekian lama, sang pembeli tersebut tak kunjung datang mengembalikan. Alhasil, jeriken miliknya hilang tak berbekas bersama pembeli curang tersebut. Mendapat ujian semacam itu, kakek Mistam hanya bisa bersabar sembari mengelus dadanya. Hanya do’a-do’a yang sering dipanjatkan dari hari ke hari yang bisa menguatkan dirinya.
Pantang jadi pengemis karena ingat pesan orang tua
Terkadang, fisik yang renta dan kemiskinan hidup, menjadi sekian dari ratusan alasan bagi seseorang untuk menhinakan dirinya menjadi seorang pengemis. Namun, hal tersebut nampaknya tidak berlaku bagi sosok kakek Mistam. Meski mengalami keterbatasan fisik, pantang bagi dirinya untuk melakoni pekerjaan tersebut. Ironisnya, ada beberapa orang yang malah menyarankan dirinya untuk menjadi peminta-minta. Teringat akan pesan orang tua yang mengharuskan dirinya untuk senantiasa berusaha, tawaran itupun tidak dihiraukannya.
Prinsip hidup kakek Mistam patut diacungi jempol. Dengan kondisinya tersebut, ia tak membiarkan dirinya menjadi beban hidup bagi orang lain. Berusaha bertahan dan hidup mandiri, kakek Mistam membuktikan dirinya sanggup mencari nafkah halal dengan berjualan bensin. Profesi itulah yang mampu menghidupi keluarganya hingga kini. Dengan bermodalkan semangat serta untaian do’a yang selalu dipanjatkannya, menjadi sebuah prinsip hidup kakek Mistam sebagai bekal untuk mengarungi kerasnya hidup ini.
Tak banyak sosok mulia seperti kakek Mistam yang begitu tegar menjalani setiap episode kehidupannya. Nyata, keterbatasan fisik yang ditanggungnya selama puluhan tahun, tak mengaburkan niatnya untuk berpaling menjadi seorang pengemis. Biar sedikit, mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya dengan cara yang halal, menjadi sebuah pengalaman mahal yang bisa kita serap dari sosok renta tersebut. Dari kisah kakek Mistam pula, kita bisa berkaca pada sendiri. Sudahkah kita mensyukuri karunia Tuhan yang dititipkan pada diri kita hari ini?