Bagi penikmat film-film bergenre komedi pada tahun 1980-an, sosok pria yang satu ini sangatlah familiar. Ia kerap mendapat peran sebagai orang bodoh atau bloon di dalam judul film yang dibintanginya. Seniman legendaris itu bernama Edy Gombloh. Wajahnya yang lugu bak orang desa, membuatnya dirinya terkenal pada saat itu.
Dilansir dari wikipedia.com, Edy Gomboh telah membintangi 33 judul film sepanjang karirnya di dunia seni peran. Hal ini membuatnya berkesempatan untuk merasakan akting dengan aktor dan aktris papan atas yang sedang tenar pada saat itu. Di antaranya adalah Benyamin Sueb, Eva Arnaz, hingga trio Warkop DKI. Meski kini zaman keemasannya telah meredup, Edy Gombloh meninggalkan sebuah kisah teladan yang patut dicontoh. Terutama bagi generasi muda.
Penghasilannya sebagai aktor kala itu terbilang sangat besar untuk dirinya. Pada tahun 1980-an, ia pernah menerima honor Rp 2 juta hanya untuk satu episode saja. Alhasil, hidupnya penuh dengan kemakmuran pada saat itu. Namun, hal tersebut tak lantas membuat pongah dan terjebak gaya hidup hedon alias hura-hura. Sedari muda, ia rajin menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung.
“Tahun 1980, satu episode saya dapat upah Rp 2 juta. Jumlah itu sangat besar kala itu. Sebagian besar saya tabung,” ujarnya yang dilansir dari regional.kompas.com.
Sikap sederhananya tak berhenti di situ saja. Saat namanya naik daun, ia tetap bersahaja dalam kesehariannya. Bahkan saat menuju ke lokasi Shooting, Eddy Gombloh kerap menggunakan angkutan umum daripada kendaraan pribadi. Meski saat itu ia sedang kebanjiran order dan tawaran untuk bermain film. Ia menerapkan gaya hidup sehat dalam kesehariannya.
“Saya tidak pernah gengsi. Daripada untuk sesuatu yang tidak berguna seperti rokok dan minuman, (penghasilan) lebih baik ditabung. Banyak teman yang honornya habis semalam untuk minum,” tuturnya yang dilansir dari regional.kompas.com.
Karena sikap hemat dan kesederhanaan itulah, ia bahkan bisa membeli sebuah ruko di Jakarta dan sebuah rumah di daerah Tempel, Sleman. Eddy Gombloh benar-benar mempersiapkan segala sesuatunya dengan cermat. Sebagai pemasukan ia juga membuka usaha fotokopi dan menanam salak.
Setelah pensiun pada 2006 silam, Edy Gombloh memilih untuk meninggalkan hiruk pikuk Ibukota. ketenangan kota Yogyakarta menjadi pilihannya sebagai tempat beristirahat di hari tua. Memang, Jakarta sangat potensial untuk menangguk untung. Karena usianya yang telah senja, Eddy Gombloh pun memilih untuk meninggalkan kariernya di dunia seni peran. Ia juga ingin menghabiskan masa tuanya dengan ketenangan.
“Tahun 2006, saya pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Saya beli rumah di Pakem, Sleman, ini,” ujar Eddy Gombloh yang dilansir dari regional.kompas.com.
Dirinya juga tak pelit berbagi ilmu. Terutama generasi muda yang saat ini tengah menggapai popularitas sebagai pemain sinetron. Ia mengingatkan agar penghasilan yang diperoleh untuk ditabung. Selain itu, gaya hidup juga bisa menjadi faktor pemicu kebangkrutan di hari tua. Hal ini bukanlah isapan jempol belaka. Eddy Gombloh berkaca dari rekan-rekannya sesama seniman dahulu, yang kini tidak memiliki apa-apa di hari tuanya.
“Jadikanlah kami yang tua ini sebagai contoh. Meski zaman dulu dan sekarang sudah berbeda, pengalaman itu adalah guru,” ucapnya yang dilansir dari regional.kompas.com.
Gemerlap dunia artis memang sangat menjanjikan harta yang melimpah serta popularitas. Namun semua hal tersebut bakal sirna dalam sekejap jika tak diimbangi dengan gaya hidup yang tepat. Seperti kisah hidup Eddy Gombloh di atas, kita bisa belajar dari dirinya. Bagaimana memaksimalkan waktu muda dengan gaya hidup sederhana, demi kebahagiaan di hari tua.