Kesempurnaan serta kecantikan secara fisik tentu menjadi dambaan bagi setiap orang. Baik laki-laki maupun perempuan, semua menginginkan hal tersebut secara mutlak. Tak jarang, demi mengejar nafsu dan ambisinya memperoleh kacantikan yang sempurna, mereka rela merubah bahkan menghilangkan karunia Tuhan yang telah diberikan untuknya.
Namun disisi yang lain, justru banyak orang yang tidak seberuntung mereka yang memiliki fisik yang lengkap serta dikaruniai kecantikan. Alih-alih ingin tampil cantik dan kekinian, keterbatasan fisik tersebut justru membuat dirinya lebih tegar dan bersyukur dalam memaknai arti kehidupan. Hal inilah yang dirasakan oleh Julhakim. Kisah perjuangan pria penjual buah yang mempunyai keterbatasan fisik ini, sangat menguras air mata.
Jeritan pilu seorang anak yang hidup sebatang kara
Keluarga merupakan hal utama yang paling penting dalam memberikan kasih sayang pada seorang anak. Hal seperti inilah yang luput dari kehidupan seorang Julhakim. Semenjak kecil, dirinya harus menerima takdir bahwa kedua orangtuanya, tak lagi menemani dirinya.
Alhasil, semenjak kelahiran dirinya, ia harus dirawat oleh seorang ayah angkatnya yang mencurahkan segenap jiwa raganya untuk ia seorang. Seolah menjadi suratan takdir, sang ayah angkat pun harus berpulang kepada sang pencipta, meninggalkan banyak kenangan manis pada dirinya. Alhasil, pada saat itu juga, dirinnya harus berjuang menahan kerasnya hidup sebagai seorang anak yang hidup sebatang kara.
Kondisi fisik yang membuat airmatanya tak berhenti mengalir
Bak kisah-kisah dalam sinetron, Julhakim kecil juga harus merasakan cobaan berat lain yang selalu membuat dirinya hanyut dalam buaian airmata. Selain hidup sebatang kara, ketidaksempurnaan secara fisik juga dialami oleh dirinya pada saat itu. Meski seakan tak terima dengan kondisi hiduonya, ia berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani setiap episode lehidupannya
Hidup dalam keterbatasan fisik serta himpitan kebutuhan hidup, tak lantas membuat dirinya lupa akan fitrahnya sebagai seorang manusia. Jika selama ini para penyandang difabel iidentikan dengan profesi pengemis, dirinya bahkan enggan untuk melakukan pekerjaan hina tersebut. Hal itulah yang menjadi motivasi, sekligus prinsip hidup dari seorang Julhakim.
Menyambung nyawa dengan merangkak ratusan kilometer
Fisiknya yang tak sempurnya, membuat Julhakim harus berpikir realistis dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Tak mau merendahkan diri dengaan menjadi seorang peminta-minta, dirinya bertekad mandiri dengan memilih perdagangan sebagai mata pencahariannya. Ketika pagi masih berselimut kegelapan, dirinya sudah harus bangun untuk mempersiapkan barang dagangannya.
Pria kelahiran 1994 tersebut memilih untuk berjualan buah-buahan setiap harinya. Yang miris, dirinya harus relah berjalan dengan cara merangkak puluhan kilometer untuk menjajakan barang dagangan miliknya. Bahkan, kulit lututnya sering terkelupas dan menghitam karena gesekan pada aspal setiap dirinya merangkak. Ia sering berkeliling di sekitar pasar Sanggau, Terminal hingga rumah sakit.
Prinsip hidup yang menggetarkan hati
Cobaan hidup dengan keterbatasan fisik yang dideritanya, membuat Julhakim senantiasa tabah dalam menjalani keseharian hidupnya. Dalam kondisi tersebut, Julhakim enggan berbuat sesuatu yang hina dan bertentangan dengan dirinya. Bagi dirinya, meski hidup dalam kekurangan dan keterbatasan fisik, ia enggan berbuat sesuatu yang justru dapat merendahkan martabatanya sebagai seorang manusia.
Dirinya mempunyai sebuah prinsip yang selalu ia tanamkan dalam hati kecilnya. Selain ingin mandiri dalam hidup, dirinya pantang untuk mengemis maupun perbuatan negatif lainnya seperti mencuri. Asal halal, ia rela melakukaknnya meskipun dengan risiko yang dapat membahayakan dirinya, terutama kulit lututnya yang sering terkelupas terkena gesekan aspal.
Impian sederhana untuk memudahkan dirinya berjualan
Merangkak puluhan kilometer setiap hari untuk menawarkan buah dagangannya, membuat Julhakim menyimpan mimpi dan sebuah asa yang terpendam dalam dirinya. Dengan penghasilan perhari Rp 60 ribu dari menjual buah-buahan, Julhakim berkeinginan membeli sebuah motor untuk melancarkan pekerjaannya menjual buah-buahan.
Selama berjualan buah-buahan, dirinya telah mampu menabung sedikit demi sedikit hingga tercapai sebanyak Rp 300 ribu. Rencananya, uang tabungan itulah yang akan digunakan oleh Julhakim untuk merealisasika mimpinya memiliki motor yang diidam-idamkannya selama ini.
Keterbatasan secara fisik ditengah himpitan kebutuhan hidup, tak serta merta membuat sosok Julhakim gelap mata. Alih-alih merendahkan martabatnya dengan melakoni pekerjaan hina sebagai pengemis, dirinya memilih berjuang dan bertahan hidup sebagai penjual buah meski harus merangkak puluhan kilometer. Kisah perjuangan Julhakim diatas, bisa menyadarkan sekaligus “menampar” diri kita yang hobi mengeluhkan sulitnya hidup. Bagi mereka yang suka merubah fisiknya dengan jalan yang negatif, cerita diatas akan menyadarkan mereka dengan pertanyaan, “sudahkan Anda mensyukuri hidup dan kelengkapan fisik hingga saat ini?”.