Ketika seorang pemimpin gagal dalam melakukan misi-misinya, maka lazimnya ia harus bertanggungjawab atas hal tersebut. Ada banyak caranya, salah satunya dengan mengajukan resign alias mengundurkan diri. Sayangnya, di zaman sekarang mana ada sih pemimpin model begini? Gagal langsung mengakui kesalahan? Ternyata masih ada dan dilakukan dengan sangat heroik oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Djoko Sasono.
Pria ini mengaku telah gagal mengurai kemacetan selama beberapa waktu terakhir. Karena merasa gagal, Djoko pun mengundurkan diri. Langkah ini ternyata mendapatkan banyak pujian. Bahkan hal tersebut menurut banyak pihak bisa jadi role model bagi pejabat-pejabat yang merasa gagal. Jika demikian, mungkin presiden juga termasuk di dalamnya.
Nah, seumpama presiden kita tiba-tiba mundur karena suatu hal, misalnya gagal mengentaskan kemiskinan seluruh rakyat Indonesia, kira-kira apa sih yang bakal terjadi dengan negara ini? Mungkin hal-hal menghebohkan ini yang bakal muncul.
Posisi pimpinan tak bisa dibiarkan kosong dalam waktu yang lama. Apalagi ini adalah presiden, yang notabene sosoknya sangat penting sebagai syarat berdirinya sebuah negara. Ketika presiden mundur, maka sesegera mungkin harus cari penggantinya. Kalau hal ini benar terjadi di negara kita, maka alternatifnya ada dua. Mengangkat wakil presiden dan biarkan beliau cari wakilnya sendiri, atau bikin pemilu lagi.
Apa pun itu, yang jelas negara bakal kisruh luar biasa. Masing-masing pihak bakal punya calonnya sendiri-sendiri yang dinilainya kompeten. Parpol mungkin akan terbagi lagi jadi kubu-kubu yang mendukung calonnya masing-masing. Sekali lagi, negara akan berada di situasi huru-hara seperti saat pemilu 2014 dulu.
Mundur setelah gagal memang bisa jadi bukti sikap gentleman, tapi di sisi lain sikap seperti ini bisa dibilang lari dari tanggung jawab. Lebih-lebih yang melakukan ini adalah presiden. Sebagai kepala negara, tanggung jawabnya tentu sangat besar. Dan sangat tidak mungkin untuk ditinggal begitu saja.
Jika presiden tiba-tiba pamitan, tentu saja rakyat akan mencibir. “Mana realisasi janjinya yang ini itu? Masih baru setengah jalan dan belum terwujud kok sudah main mundur saja.” Alhasil, presiden akan jadi bahan cemoohan jika keukeuh melakukan hal tersebut. Setidaknya rampungkan dulu apa yang jadi proyek terbesarnya baru tinggal.
Presiden sudah barang tentu punya program-program andalannya sendiri yang dinilai bisa bermanfaat buat negara. Namun, bagaimana nasib program tersebut jika ia mundur? Kemungkinannya bisa diteruskan, tapi bisa juga dibuang.
Kalau kata programmer, mending bikin baru daripada nambal punya orang. Hal ini memang benar, menambal hanya akan membuang-buang waktu. Karena beda kreator, maka tentu beda sudut pandangnya. Sehingga, kemungkinan terbesar jika presiden mundur maka programnya pasti dibuang. Jika demikian, uang negara akan melayang sia-sia dengan hanya meraih manfaat yang sedikit.
Ya, kalau yang ini memang sudah pasti. Jika untuk pemilu susulan atau ulangan saja bisa keluar duit miliaran, maka event akbar seperti pemilihan ulang presiden sudah tentu besar sekali biayanya. Beda dengan pilkada yang hanya di daerah saja, pemilihan presiden baru melibatkan pemilih seluruh Indonesia.
Biar tak ada pemilu dan negara bisa saving, lakukan saja vote para anggota dewan terhormat. Mungkin tidak melibatkan rakyat secara langsung, tapi dari sisi biaya bisa hemat banyak. Soal kinerja, ya tergantung dari bagaimana para dewan terhormat itu memilihnya.
Ya, kemungkinan seperti ini selalu ada. Presiden lama yang buruk mundur, belum tentu penggantinya bakal greget dan lebih keren. Tak jarang pula, para pengganti yang malah di bawah performa yang lama.
Keburukan presiden baru ini mungkin dilihat dari program dan kebijakannya yang tak pro rakyat, menetapkan aturan-aturan yang tak sesuai, serta masih banyak lagi yang lain. Maka sebelum bikin keputusan besar, harus dipikirkan apa-apanya. Jangan pilih calon pengganti yang asal ada saja, tapi yang benar-benar punya prestasi dan niat baik untuk memperbaiki bangsa.
Biasanya harus ada pembeda antara yang lama dan baru. Kalau tidak, buat apa yang lama diganti. Pembeda ini bisa dilihat dari banyak hal, misalnya saja soal kebijakan-kebijakan. Seperti dengan menurunkan harga BBM separuh dari presiden lama, atau mungkin tak pakai banyak omong langsung sikat para koruptor, dan lain sebagainya.
Tak masalah jika kebijakannya keren. Namun sebaliknya, bakal jadi derita bagi rakyat kalau aturan baru yang diberlakukan tak pro masyarakat. Misalnya hapus raskin, potong subsidi dan lain sebagainya.
Pertanyaannya, apakah ada prosedur untuk seorang presiden yang ingin mundur? Tentu saja ada, bahkan tidak ribet. Masih ingat mantan Presiden Soeharto? Beliau langsung mundur begitu saja ketika mahasiswa mendesaknya.
Apa yang ditunjukkan oleh Djoko Sasono memang keren dan tak lazim, apalagi posisinya tinggi. Namun, langkah ini dinilai sangat tepat karena ia menganggap dirinya gagal dan pasti ada orang lain yang bisa lebih baik. Lalu bagaimana dengan presiden kita? Dilihat dari rapornya setahun terakhir, sepertinya tak buruk kok. Beliau terlihat bertanggung jawab penuh dengan janji-janjinya. Soal belum terwujud ya sabar saja, hal-hal besar memang tak dibuat dalam waktu singkat.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…