Para pecinta hiking yang hobbinya naik gunung, pasti tau dong dengan puncak paling tinggi di dunia yang disebut Everest ini kan? Ya, tempat ini disebut sebagai titik tertinggi yang paling dekat dengan langit. Suhunya sangat dingin, persediaan oksigen terbatas, cuaca ekstrem, pun sudah ratusan nyawa terenggut di sini.
Bak meminta tumbal, kematian hamper setiap tahun terjadi. Untuk mereka yang meninggal di Everest, tak aka nada tim SAR yang menyelamatkan dan membantu. Nah, mengapa ya hal tersebut bisa terjadi? Simak deh ulasannya dalam artikel Boombastis.com berikut ini.
Biaya mahal pengambilan jenazah
Dalam sejarah pendaki Indonesia, hanya ada lima orang yang berhasil menaklukkan puncak tertinggi dunia tersebut. Dua di antaranya adalah Fransiska Dimitri Inkirawang dan Mathilda Dwi Lestari yang sampai pada 17 Mei 2018 lalu. Keduanya merupakan mahasiswa di Universitas Kristen Parahyangan, Bandung.
Menurut Deedee dan Mathilda, mereka sempat menjumpai jasad abadi yang sudah menjadi es di tengah perjalanan. Salah satu alasan jasad tersebut tak diambil adalah biaya pengambilan yang sama mahalnya dengan biaya naik gunung, yaitu 1 miliar Rupiah. Dengan begitu, pihak keluarga hanya bisa merelakan orang yang mereka sayang membeku selamanya di Everest.
Menyelamatkan sama saja dengan bunuh diri secara perlahan
Ada banyak penyebab yang membuat para pendaki tewas. Medan yang licin, kelelahan, serta yang paling banyak adalah kedinginan. Everest berada di ketinggian 8,848 mdpl. Sedangkan di atas 8000 meter, zona tersebut sudah dinamakan Death Zone atau Zona Kematian. Hal ini karena persediaan oksigen di sana sangat terbatas, para pendaki sendiri harus membawa 2 tabung yang digunakan untuk membantu mereka bernafas.
Tak hanya itu, Deedee dan Mathilda mengatakan pakaian berlapis yang digunakan oleh para pendaki sangat berat, sehingga menolong orang lain adalah hal yang sangat mustahil, kecuali jika memang punya planning untuk mati bersama di Everest.
Pendaki akan dibiarkan sekarat dan meninggal dengan mengenaskan
Orang-orang yang datang ke Everest adalah manusia yang punya nyali besar dan sudah siap dengan kematian. Saat mereka sudah tak sanggup lagi melanjutkan perjalanan, jika mereka mungkin datang rombongan, maka teman-temannya harus meninggalkan orang tersebut. Hal ini bukan tega atau tak berperikemanusiaan ya, tetapi mereka yang sudah sekarat juga akan kesakitan saat dipaksa untuk bergerak maju.
Jika mereka mengalami insiden yang tak diinginkan, maka di tempat yang sangat dingin organ tubuh tidak akan bekerja seperti biasanya. Mereka akan kian melemah hingga akhirnya pendaki meninggal dunia.
Menjadi penunjuk jalan dan ukuran ketinggian untuk pendaki lain
Hingga sekarang, sudah ratusan nyawa yang gugur di Everest, salah satu yang terkenal adalah The Green Boots, seorang yang meninggal dan memakai sepatu boot berwarna kuning. Ternyata, ada gunanya jasad-jasad ini dibiarkan begitu saja.
Mereka bisa menjadi penunjuk jalan untuk para pendaki di masa depan. Karena kebanyakan yang meninggal di Zona Kematian, maka itu tandanya sebentar lagi para pendaki akan mencapai puncak gunung.
BACA JUGA: 5 Fakta Tersembunyi di Balik Megahnya Gunung Everest
Setiap pendaki tak jarang membawa catatan, bukti dokumentasi perjalanan mereka. Nah, jika mereka tewas di tengah perjalanan maka catatan -yang mungkin bisa berupa pesan kepada keluarga- ini akan dibawa oleh para sahabat dan disampaikan kepada keluarga. Pedih dan sedih memang ya, tapi kalau sudah hobbi dan ajalnya mau bagaimana lagi.