Era 1960-an memang menjadi masa-masa keemasan bagi militer Indonesia, khususnya dari matra Angkatan udara Republik Indonesia (AURI) dan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Terlebih, saat itu tengah terjadi konflik antara Indonesia dengan Belanda soal Irian Barat (berubah jadi Irian Jaya dan kini Papua), yang saling diperebutkan oleh kedua belah pihak.
Beruntung, Indonesia saat itu tengah diuntungkan lewat hubungan baiknya dengan Uni Sovyet. Dari kedekatan ini, tanah air memperoleh kemudahan berupa limpahan alusista tempur modern yang membuat militer Indonesia menjadi yang terkuat di wilayah ASEAN. Tentu saja, semua tak lepas dari jasa besar seorang Nikita Khrushchev, pemimpin Uni Soviet pada saat itu. Lantas, bagaimana sepak terjangnya dalam membantu Indonesia?
Mendukung gerakan antikolonialisme di Asia Afrika yang digelorakan Indonesia
Indonesia yang tengah berkonflik dengan Belanda soal Irian Barat, akhirnya sampai juga di telinga pemerintah Uni Soviet. Dilansir dari id.rbth.com, hal ini berawal dari kunjungan pertama Presiden Sukarno ke Moskow pada 1956. Di sana, ia membicarakan permasalahan negaranya dengan Belanda, yang kemudian disebut sebagai Sengketa Irian Barat.
Masalah ini pun didengar dengan baik oleh Nikita Khrushchev, pemimpin Soviet pada saat itu. Bak gayung bersambut, pria kelahiran 15 April 1894 itu ternyata juga merupakan pendukung gerakan antikolonialisme di Asia dan Afrika. Dari sini, Khrushchev dengan cepat mengumumkan dukungannya terhadap Indonesia, di mana saat itu tanah air tengah gencar mendapatkan suara dari forum PBB.
Moskow mulai mempersenjatai militer Indonesia hingga jadi yang terkuat di ASEAN
Sebelumnya, Indonesia meminta bantuan alutsista militer pada Amerika Serikat (AS) lewat lobi-lobi Jenderal Nasution. Sayang, permintaan tersebut ditolak Presiden Eisenhower lantaran terikat persekutuan dengan Belanda dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Di sinilah peran kunci Khrushchev terjadi. Dari akhir 1950-an hingga akhir masa kepemimpinan Sukarno pada 1966, Uni Soviet atas perintahnya, banyak memasok kebutuhan militer Indonesia.
Alutsista yang kelak membuat angkatan perang Indonesia digdaya pada zamannya itu, terdiri dari satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal rudal, beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam, serta kendaraan-kendaraan lapis baja dan amfibi, helikopter, dan pesawat pengebom. Angkatan Laut termasuk matra yang mendapat jatah terbesar. “Termasuk 12 kapal selam, belasan kapal roket cepat, pesawat-pesawat AL, helikopter-helikopter dan peralatan amfibi untuk KKO lebih kurang 3 resimen.” ungkap Nasution yang dikutip dari historia.com.
Sosok politikus yang berjasa pada Uni Soviet modern
Tak hanya membuat militer Indonesia menjadi yang terkuat di masanya, Khrushchev juga tergolong politikus yang membawa angin segar di negerinya. Terlebih pasca runtuhnya pemerintahan Josef Stallin. Dikutip dari id.rbth.com, Khrushchev lahir di pedesaan Kursk pada 15 April 1894. Saat berusia 30 tahun, ia sempat menjadi sekretaris pertama Komite Sentral Partai Komunis Ukraina.
Setelah Stalin wafar, Khrushchev kemudian mengambil alih kekuasaan. Sebagai Sekretaris Jenderal Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet (1953–1964), ia banyak menyerukan kebijakan baru di negara beruang merah tersebut seperti menghapus pemujaan terhadap pribadi Stalin, menjalankan misi penerbangan ruang angkasa Gagarin, hingga menaruh harapan pada rudal sebagai ujung tombak pertahanan nasional. Pemimpin besar ini wafat pada 11 September 1971 karena serangan jantung.
BACA JUGA: 5 Hal Inilah yang Bakal Didapat Militer Indonesia Jika Bersekutu dengan Rusia
Sayang, kedigdayaan militer Indonesia di era tersebut seakan sulit terulang kembali di masa yang akan datang. Terlebih setelah Sukarno mangkat, Indonesia memilih menjalin hubungan dengan AS ketimbang Uni Soviet- yang berubah menjadi Rusia, di masa pemerintahan Soeharto. Untuk sosok Nikita Khrushchev, ia akan terus dikenang sebagai figur penting di balik kekuatan militer Indonesia yang berjaya di era 1960-an.