Tingkat kesenjangan ekonomi yang terjadi di Indonesia, semakin membuat mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah banyak. Tak hanya itu, sulitnya mengakses lapangan pekerjaan yang layak bagi kaum pinggiran tersebut, seolah menambah daftar panjang kisah suram kemiskinan di negeri yang kaya raya ini. Hal pilu semacam ini pun terekam dengan jelas lewat perjuangan sosok perempuan miskin di Gowa, Sulawesi Selatan.
Hidup sendiri dengan empat orang anak, memang bukan perkara mudah untuk dijalani oleh seorang Haeriah. Terlebih, sang suami yang harusnya menemani dirinya melewati hidup, justru tega meninggalkan sang istri sendirian. Alhasil, demi menyambung nafas keempat anaknya, ia harus rela bersakit-sakit menjadi seorang kuli pembuat bata. Seperti apa perjuangan hidupnya? simak kisah harunya dibawah ini
Jerat kemiskinan yang memaksa dirinya banting tulang
Jika boleh memilih, siapapun manusia didunia ini pasti ingin dilahirkan dari keluarga yang kaya raya, mapan dan tercukupi segala kebutuhan hidupnya. Namun apa daya, semua manusia diharuskan ikhlas menerima guratan takdirnya masing-masing. Hal inilah yang kini dihadapi oleh seorang wanita tangguh asal Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Ditengah himpitan ekonomi dan kebutuhan hidup, Haeriah harus bekerja susah payah untuk menghidupi keempat anaknya seorang diri. Hidup dalam lingkaran kemiskinan, membuat dirinya harus memutar otak agar ia dan keempat buah hatinya tak kelaparan. Pekerjaan kasar sebagai buruh pun ia lakoni demi sesuap nasi.
Buruh kasar dengan upah rendah
Selain resiko pekerjaan yang dapat mengancam keselamatan dirinya, wanita tangguh tersebut juga harus menerima upah yang rendah dan jauh dari kata layak. Bayangkan, dalam waktu sehari, ia diharuskan membuat batu bata sebanyak 1.000 buah dengan upah hanya Rp 30 ribu, jumlah yang rendah untuk ukuran zaman seperti ini.
Yang miris, dirinya hanya mampu membuat 800 bata setiap harinya. Bisa dibayangkan, apakah dirinya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keempat anaknya? Meski terkesan tidak masuk di akal, hal tersebut bukanlah menjadi penghalang bagi dirinya untuk mencari nafkah halal. Profesi tersebut akan tetap dilakoni olehnya demi buah hatinya yang menunggu rezeki dari keringatnya.
Hidup berselimut kesepian tanpa seorang pendamping
Sebagai sosok wanita yang tangguh, Haeriah telah cukup kenyang mencicipi asam garam kejamnya hidup di dunia yang fana ini. Berjuang seorang diri sebagai Ibu sekaligus ayah bagi keempat anaknya, tubuhnya yang mulai renta termakan usia, tertatih-tatih bekerja keras mengolah tanah liat menjadi bata sebagai sumber penghidupannya.
Di saat perjuangannya semakin berat, sang suami tega meninggalkan dirinya dan memilih menikah dengan wanita lain sepuluh tahun yang silam. Praktis, dirinya hanya ditemani oleh empat anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa. Bersama merekalah, Haeriah bertahan hidup melewati hari-harinya yang penuh air mata perjuangan.
Keempat anak putus sekolah yang juga ikut bekerja keras
Seperti kisah -kisah miris tentang kemiskinan yang nyaring terdengar di negeri ini, tak hanya sang ibu yang ikut bekerja keras, keempat buah hatinya yang lain pun harus ikut meraskan penderitaan yang sama dengan orang tua mereka. Alih-alih pergi sekolah mengenyam pendidikan yang lebih baik, mereka justru harus putus sekolah dan tenggelam dalam pusaran kemiskinan yang melilitnya.
Dari keempat anaknya, hanya Agustiawan yang masih bertahan melanjutkan pendidikannya hingga jenjang sekolah menengah atas. Meski begitu, ia juga harus ikut bekerja membantu kedua orang tuannya sepulang dari sekolah bersama saudaranya yang lain. Keempatnya juga bahu membahu membantu meringankan beban sang ibu.
Doa demi doa yang menguatkan perjuangan hidupnya
Meski hidup berteman dengan kemiskinan, Haeriah tak pernah lepas dari lantunan do’a yang senantiasa ia ucapkan setiap harinya. Dengan suara lirih, ia senantiasa memohon pada yang Maha Kuasa agar diberikan kesehatan dan kekuatan pada tubuhnya yang tak lagi muda.
Ia ingin agar hasil keringat dari jerih payahnya selama menjadi kuli bata, bisa digunakan untuk membesarkan anak-anaknya. Untuk itu, tangan keriputnya akan senantiasa menengadah, demi masa depan yang lebih baik untuk dirinya beserta keempat buah hati.
Kisah haru yang menyentuh diatas seakan membuka mata hati kita, tentang bagaimana kasih sayang seorang ibu yang tak putus demi kebahagaiaan anak-anaknya. Dari sosok ibu Haeriah, kita membuktikan contoh nyata pengorbanan ibu yang demikian besar bagi keempat anaknya. Agar mereka bisa hidup layak, ia rela menjadi seorang kuli kasar yang membuat batu bata. Maka, sudah selayaknya kita memuliakan orang tua kita, terutama sosok ibu.