Menyandang status sebagai negeri makmur yang bergelimang kekayaan alam, tak membuat Indonesia bisa tersenyum bangga dengan predikat tersebut. Fakta dan Kenyataan di lapangan, justru bertolak belakang dengan gelar tersebut. Negeri yang dijuluki sebagai Zamrud khatulistiwa itu, harus mencabut makna tersebut karena banyak rakyatnya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Kemelaratan hidup yang masih meneror rakyat tersebut, seolah menjadi pemandangan biasa dalam masyarakatnya. Nampaknya, hal ini pulalah yang diderita oleh ibu dan anak bernama Sukma dan Julianti asal Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Bayangkan, di negeri yang katanya agraris ini, kedua manusia tersebut, harus rela berbagi menu makanan dengan tikus demi bertahan hidup. Seperti apa kisah mirisnya? simak ulasan berikut.
Hidup susah berkubang kemiskinan
Kemelaratan hidup yang mendera oleh ibu dan anak ini, menyisakan begitu banyak kisah pilu yang sangat mengiris hati. Tinggal di sebuah gubuk reyot yang beralaskan tanah, keadaannya tempat tersebut nampak lusuh dan jauh dari kata layak untuk dihuni. Di tempat itulah, ia bersama dengan seorang putrinya, berlindung dari hujan dan terik matahari. Praktis, tak ada perabotan mewah di dalam gubuk tersebut. Hanya ada beberapa piring dan periuk yang digunakan untuk memasak nasi.
Mengadu untung dengan memungut kakao
Untuk menyambung hidup sehari-hari, ia bersama dengan anak perempuannya, memungut biji sisa kakao yang memang banyak ditemukan di daerah tersebut. Yang miris, biji kakao tersebut merupakan barang sisa makanan tikus yang telah terjatuh dari pohonnya. Jika telah terkumpul sebanyak 1 kg, biji kakao tersebut dijual Rp 10.000 per kg. Uang hasil penjualan kakao itulah yang digunakan untuk membeli beras.
Terpaksa berbagi makanan dengan tikus
Bukan perkara yang mudah bagi seorang Sukma untuk mencari biji kakao tersebut. Mulai pagi hingga petang, ia bersama Julianti, menyusur hutan setapak demi setapak untuk mencari kakao. Ia juga harus menempuh jarak hinggs 1 kilometer setiap harinya untuk mengumpulkan biji kakao sebanyak 1 kg. Meski kerap sakit-sakitan, ia tetap menguatkan langkahnya agar sang buah hati bisa makan nasi pada hari itu. Yang miris, jika ia tak mampu membeli beras, kakao bekas gigitan tikus yang dipungutnya pun terpaksa dimakan.
Pohon kapuk dan sukun sebagai penyambung hidup alternatif
Tak hanya mengonsumsi biji kakao, Sukma beserta anaknya juga terkadang memungut biji sukun yang kebetulan jatuh dari pohonnya. Sesampainya di rumah, ia segera memasak dan menyantap sukun tersebut, untuk sekedar mengganjal perutnya di malam hari sambil menunggu pagi tiba. Selain itu, ia juga sering mengumpulkan buah kapuk jika musimnya telah tiba. Jika kondisinya terjepit, ia pun terpaksa mengutang ke tetangga yang iba pada keadaannya.
Pejabat setempat yang seolah tak peduli
Sukma dan Julianti yang termasuk kategori penduduk miskin, seolah tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Bahkan, aparat desa yang pernah menengok keadaan dirinya, hanya bisa meminta Sukma untuk bersabar atas cobaan hidup yang dideritanya. Meski telah mengantongi Kartu Sehat Indonesia dan Kartu Indonesia Pintar, Sukma dan Julianti belum pernah mendapatkan bantuan dana sosial, terutama sang anak yang masih bersekolah.
Tak pelak, kenyataan miris yang dialami oleh Sukma tersebut, seakan menegaskan bahwa negeri yang katanya kaya ini, masih belum bisa menyejahterakan masyarakatnya. Selain itu, pihak pemerintah yang ingin menyejahterakan rakyat dengan program kartu tersebut, ternyata masih belum bisa berjalan maksimal, terutama di daerah pedesaan diluar pulau Jawa. Semoga kedepannya, program tersebut bisa tersalurkan dengan baik, serta bisa mengentaskan nasib orang miskin seperti Sukma dan anaknya.