Di tengah hangatnya sidang MK atas kasus sengketa pilpres 2019 yang menjadi pusat perhatian masyarakat di Indonesia belakangan ini, diam-diam utang negara telah melesat bak anak panah yang lepas dari busurnya. Dilansir dari cnnindonesia.com, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mencapai US$389,3 miliar atau setara Rp5.577,4 triliun (kurs Rp14.326 per dolar AS) pada akhir April 2019 kemarin.
Selain karena dipengaruhi faktor penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, kenaikan tersebut juga terjadi karena transaksi penarikan neto utang luar negeri. Alhasil, jumlah utang yang semakin membengkak seperti saat ini patut diwaspadai. Bukankan Indonesia pernah merasakan pedihnya krisis keuangan pada 1998 silam? Lantas, seperti apa fenomena utang sebesar 5.577 tersebut.
Naik dari 5.528,06 menjadi 5.577 triliun
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) yang dikutip dari laman finance.detik.com menuliskan bahwa jumlah Utang Luar Negeri Indonesia hingga April 2019 mencapai US$ 389,3 miliar atau Rp 5.528,06 triliun. Namun, jumlahnya bertambah menjadi US$389,3 miliar atau setara Rp5.577,4 triliun (kurs Rp14.326 per dolar AS) pada akhir April 2019. Dilansir dari cnnindonesia.com, besaran utang senilai Rp5.577, 4 triliun tersebut dihimpun oleh dua pihak, yakni US$189,7 miliar atau Rp2.717,7 triliun dari utang pemerintah dan bank sentral dan sebesar US$199,6 miliar atau Rp2.859,6 triliun dari utang swasta, termasuk BUMN.
Penyebab meningkatnya Utang Luar Negeri Indonesia
Menurut data Bank Indonesia (BI) yang dikutip dari finance.detik.com menuliskan, ada peningkatan pada ULN dari sektor swasta yang didominasi oleh berbagai bidang, seperti jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara (LGA), serta sektor pertambangan dan penggalian dengan total pangsa 75,2%. Meski demikian, pemerintah memprioritaskan jumlah ULN yang ada untuk membiayai pembangunan, dengan porsi terbesar pada beberapa sektor produktif yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pesatnya pertumbuhan utang yang harus diwaspadai
Semakin meningkatnya ULN swasta, negara sudah seharusnya mewaspadai hal tersebut karena dianggap bisa memicu krisis. Seperti yang kita tahu, Indonesia pernah mengalami gejolak moneter pada 1998 yang memukul perekonomian negara dan bisnis yang ada. “Pertumbuhan ULN swasta yang terlalu cepat perlu diwaspadai karena berpotensi membahayakan. Saat ini mungkin belum terasa bahayanya. Tapi bisa memicu krisis seperti periode 1997/98 ketika terjadi pelemahan nilai tukar yang ekstrim,” ujar Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE) Piter Abdullah.
Negara-negara pemberi utang kepada Indonesia
Merujuk pada data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) per kuartal I 2019, pinjaman keuangan pada Indonesia didominasi oleh negara-negara Asia, Eropa dan Amerika. Singapura menjadi pemberi utang tertinggi sebesar US$ 64 miliar, yang diikuti oleh Jepang senilai US$ 29,01 miliar, AS US$ 21,3 miliar, China US$ 17,9 miliar, selanjutnya Hong Kong US$ 15 miliar, Korea Selatan US$ 6,3 miliar dan negara Asia lainnya US$ 10,4 miliar. Untuk negara-negara Eropa, ada Belanda senilai US$ 8,3 miliar, Jerman US$ 4,6 miliar, Prancis US$ 4,1 miliar dan Inggris sebesar US$ 3,2 miliar.
BACA JUGA: 4 Hal Ini Bakal Dialami Indonesia Jika utang Negara Menumpuk dan Tak Sanggup Dibayar
utang memang memiliki peranan penting bagi kelangsungan eksistensi sebuah negara. Salah satunya untuk keperluan pembangunan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Asal masih dalam rasio yang wajar dan dikelola dengan benar, utang bisa menjadi hal produktif yang menguntungkan. Sebaliknya jika ada miss dalam penggunaannya, tentu bisa menjadi ancaman bagi negara yang berutang tersebut.