Dalam fenomena jual beli pasti kalian pernah mengalami diberi kembalian permen oleh si pedagang atau kasir. Hal ini dilakukan bukan karena enggak ada alasan. Mereka mengganti dengan permen lantaran tidak ada uang receh. Biasanya uang kembalian yang diganti dengan permen hanya berupa Rp100 atau Rp200 saja.
Kita sebagai pembeli pada umumnya tidak akan menolak. Pastinya hanya menerima karena toh itu hanya recehan yang tidak seberapa. Namun sebenarnya mengganti uang kembalian dengan permen tidak dianjurkan di negara kita lho. Sebab, sudah ada hukum tertulis mengenai fenomena yang satu ini.
Hal tersebut disinggung pada pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang. Pasal tersebut berbunyi macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Jadi bisa dibilang kalau tindakan mengonversi uang receh jadi permen adalah kegiatan yang ilegal. Sebab itu sama saja menganggap rupiah bukan sebagai alat tukar yang sah.
Nah, kalau para pedagang atau kasir tetap memberikan permen sebagai uang kembalian, ada hukuman yang akan diterima nih. Hal tersebut ditulis pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Di sana disebutkan kalau konsumen berhak atas untuk memilih dan mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Nah, kalau uang kembalian yang diberikan tidak sesuai, maka para pedagang ataupun kasir akan dikenakan hukuman. Sanksi yang akan diterima adalah penjara maksimal dua tahun dan denda paling banyak sebesar Rp5 miliar.
Hal ini memang pantas untuk diterapkan di kehidupan sehari-hari. Alasannya karena para pembeli tentu dirugikan karena tidak ada kata sepakat sebelumnya. Namun, beda lagi jika sudah ada perjanjian sebelumnya, maka fenomena uang kembalian diganti permen akan sah untuk dilakukan. Sehingga untuk para penjual ataupun kasir harus berpikir lebih matang lagi jika ingin memberi uang kembalian berupa permen.
Fenomena ini memang sangat sepele sih. Namun ada bahaya yang akan kita dapat ke depannya kalau ini dibiarkan terlalu lama. Contohnya seperti anak atau cucu kita nanti tidak akan pernah tahu ada uang receh dengan nominal tertentu. Padahal, Bank Indonesia masih memproduksinya sampai sekarang. Kemudian, hal ini bisa memperbesar risiko korupsi. Ya bukan berprasangka buruk, tapi bisa saja si penjual atau kasir mengatakan tidak punya uang receh padahal sebenarnya masih ada.