Selama menggelorakan Third Reich (era Nazi Jerman), Adolf Hitler banyak mendirikan berbagai lokasi khusus untuk para tawanan yang kelak dikenal sebagai kamp konsentrasi. Di antara sekian jumah tempat yang ada, Dachau merupakan salah satu kamp yang mempunyai sejarah kelam. Tak hanya bagi jutaan Yahudi dan kaum minoritas lainnya, pejuang asal Indonesia pun sempat merasakan horornya tempat tersebut.
Dilansir dari historia.id, salah satu tokoh asal Indonesia yang bernama Sidartawan, merupakan orang nusantara pertama yang menjadi korban di Kamp Dachau. Bagi kalangan tawanan pasukan Nazi, tempat tersebut tak ubahnya sebagai ‘perhentian terakhir’ bagi kehidupan. Jika masuk ke dalamnya, harapan untuk bisa bebas sangat tipis dan bahkan mustahil.
Orang Indonesia pertama yang menjadi korban kekejaman Kamp Dachau
Sebagai mahasiswa hukum di Universitas Leiden sejak 1929, Sidartawan dikenal aktif dalam organisasi Perhimpunan Indonesia. Dilansir dari laman historia.id, lembaga itu yang banyak diisi oleh mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Belanda. Kelak saat Nazi-Jerman menduduki negeri kincir angin pada 10 Mei 1940, Sidartawan dan anggota Perhimpunan Indonesia lainnya ikut melakukan verzet atau perlawanan. Mereka pun akhirnya menjadi sasaran tentara Nazi Jerman.
Malang, Sidartawan akhirnya tertangkap bersama dengan Parlindoengan Loebis saat kediaman mereka digeledah. Sebagai tawanan, keduanya sempat merasakan berpindah-pindah kamp konsentrasi. Mulai Schoorl dan Amersfoort di Belanda, kemudian Buchenwald dan Sachenhausen di Jerman. Loebis sendiri beruntung bisa bebas dan pulang ke Indonesia. Namun tidak Sidartawan. Ia dikabarkan telah dipindah ke Kamp Dachau yang terkenal dengan kekejamannya. Di sana, nasibnya tak lagi terdengar hingga kejatuhan Nazi Jerman.
Banyak diisi tawanan politik yang berseberangan dengan ideologi Nazi
Dibangun pada 1933, Kamp Dachau merupakan tempat reguler pertama yang dikendalikan oleh pemerintahan Nasionalis Nazi. Laman encyclopedia.ushmm.org menuliskan, Heinrich Himmler, sebagai presiden polisi Munich, secara resmi menggambarkan kamp tersebut sebagai “kamp konsentrasi pertama bagi tahanan politik.”
Di dalam Kamp Dachau, para tawanan berasal dari Komunis Jerman, Demokrat Sosial, serikat buruh, dan penentang politik lainnya dari rezim Nazi. Baru setelahnya, pasukan Hitler juga memasukkan kaum Saksi Yehova, orang-orang Roma (Gipsi), homoseksual, dan penjahat kambuhan yang seringkali tertangkap. Setelah operasi Kristallnacht yang menyasar kaum Yahudi, ada lebih dari 10.000 orang menjadi interniran di Kamp Dachau. Termasuk Sidartawan, di sinilah para tawanan merasakan kekejaman yang panjang setiap harinya.
Kamp maut yang menggunakan tawanannya sebagai kelinci percobaan medis
Layaknya di kamp konsentrasi khas Nazi lainnya, Dachau juga menjadi lokasi untuk eksperimen medis tingkat tinggi. Tentu saja, para tahanan menjadi kelinci percobaan untuk hal tersebut. Dilansir dari laman encyclopedia.ushmm.org, mereka menggunakan alat seperti ruang dekompresi dengan manusia sebagai obyek penelitian.
Sejumlah eksperimen seperti malaria dan tuberkulosis, percobaan hipotermia, dan pengujian obat baru, menjadi rutinitas bagi awak medis Nazi Jerman yang bertugas di Kamp Dachau. Salah satu yang mengerikan adalah, para tahanan dipaksa untuk menguji metode membuat air laut yang dapat diminum hingga menghentikan pendarahan secara cepat. Buntut dari hal ini, ratusan tahanan banyak yang meninggal atau dinonaktifkan secara permanen sebagai hasil dari eksperimen yang dilakukan.
Tawanan dipaksa bekerja hingga tewas
Selain digunakan sebagai kelinci percobaan, para tahanan di Kamp Dachau juga dipaksa bekerja keras sepanjang hari. Mereka banyak ditempatkan di proyek-proyek konstruksi yang beragam. Laman encyclopedia.ushmm.org menuliskan, para tawanan dikerahkan untuk membangun jalan, di daerah berkerikil hingga rawa-rawa yang dikeringkan.
Kamp Dachau sendiri memiliki lebih dari 30 sub-kamp besar, di mana lebih dari 30.000 tahanan bekerja hampir secara eksklusif pada persenjataan untuk menyuplai kebutuhan militer Nazi. Meski dipekerjakan secara eksklusif, ada ribuan tahanan tetap dipaksa bekerja sampai mati. Hal ini terjadi pada musim panas dan gugur di tahun 1944, di mana permintaan senjata bagi militer Nazi Jerman sangat tinggi pada saat itu.
Bagaimana nasib Sidartawan?
Seperti penjelasan di atas, Sidartawan yang dikabarkan telah dipindah ke Kamp Dachau, tidak diketahui nasibnya secara jelas. Dalam inmemoriam terbitan majalah Indonesia, 21 Juli 1945 yang dikutip dari laman historia.id menuliskan, Sidartawan berturut-turut menempati kamp konsentrasi di Scheveningen, Schoorl, Amersfoort, Hamburg, Neuengamme, dan terakhir di Dachau.
Nama Sidartawan termasuk yang tidak kembali ke Indonesia. Hanya Loebis seorang yang saat itu sangat beruntung bisa dibebaskan dan pulang ke tanah air tercinta. Menurut dirinya, Kamp Dachau kala itu kesohor dengan julukan sebaga Vernichtungslager, yang artinya kamp di mana para tawanan dibunuh kalau dia kelihatan sudah tidak ada tenaga lagi untuk bekerja. Apakah nasib Sidartawan berakhir dengan cara yang demikian? Hanya Tuhan yang tahu.
BACA JUGA: 5 Kamp Konsentrasi ini Tak Kalah Mengerikan Dibanding Milik Hitler dan Stalin
Tak ada yang menyangka, jika ternyata orang dari Indonesia pernah menjadi korban kekejaman kamp konsentrasi Nazi seperti di Dachau. Terlebih, lokasi tersebut memang dikenal sebagai tempat ‘penjagal nyawa’ bagi mereka yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh Nazi Jerman. Gimana menurutmu Sahabat Boombastis?
———-
Sumber referensi tulisan:
1. DACHAU | Holocaust Encyclopedia
https://encyclopedia.ushmm.org/content/en/article/dachau
2. Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Pertama Nazi
https://historia.id/politik/articles/orang-indonesia-di-kamp-konsentrasi-pertama-nazi-DwgQK
3. Album Foto Kamp Konsentrasi Dachau
http://alifrafikkhan.blogspot.com/2013/09/album-foto-kamp-konsentrasi-dachau.html
4. Jejak Orang-orang Indonesia di Front Eropa
https://tirto.id/jejak-orang-orang-indonesia-di-front-eropa-9iW