Sebuah ungkapan populer berbunyi ‘kemiskinan akan membawa seseorang kepada kekufuran’ pasti sering kamu dengar. Hal ini memang benar adanya. Keadaan serba kekurangan kadang membuat seseorang jadi lupa jika masih bertuhan. Akibatnya, dilakukanlah cara-cara yang cenderung bodoh dan tanpa berpikir jauh. Misalnya saja dengan menjual organ tubuh hanya demi segepok uang.
Cukup sering hal tersebut terjadi, begitu pula dengan sebuah desa di Nepal ini. Hampir sebagian besar penduduknya menjual satu ginjalnya. Kemiskinan dan keinginan untuk hidup lebih baik melatarbelakangi kenapa mereka sampai melakukan hal merugikan seperti ini. Namun ternyata tidak semata-mata lantaran keadaan miskin saja, ada pula yang jadi korban penipuan dan brainwash para brooker organ tersebut. Simak ulasan lengkapnya berikut.
1. Obral Ginjal Harga Terjangkau
Hampir 10 tahun desa bernama Hokse ini dijadikan tempat buruan para pencari ginjal. Bahkan saking terkenalnya, desa ini juga sering disebut Kidney Village. Brooker organ mencari para donor yang masih bugar untuk kemudian diambil ginjalnya dan ditukar dengan sejumlah uang. Namun sayangnya, harga ginjal di sini terlalu murah, yakni hanya sekitar $2000 alias Rp 26,9 juta. Padahal harga umum di pasar gelap berkisar antara $10 ribu hingga $220 ribu.
Kondisi penduduk Hokse yang memang sangat miskin membuat mereka tak punya pilihan selain menjual apa yang ada di dalam tubuhnya. Tidak hanya sekedar untuk menyambung hidup, beberapa orang yang menjual ginjalnya juga berhasil membeli rumah dan sepetak lahan kecil. Walaupun secara hakikat ginjal tidak ternilai bahkan oleh apartemen mewah sekalipun.
2. Kisah Greeta Penjual Ginjal Apes
Dari sekian banyak orang yang menjual ginjalnya, kisah tragis dialami oleh seorang wanita bernama Greeta. Sama seperti kebanyakan orang desa Hokse, ia ditawari untuk menjual ginjalnya. Tentu saja wanita ini menolak mentah-mentah tawaran tersebut. Namun ketika melihat kondisi dirinya dan keluarga, akhirnya ia mau melakukan prosedur tersebut di sebuah rumah sakit di India.
Greeta mengatakan proses pengambilan ginjalnya hanya sekitar 1,5 jam, tapi ia harus berbaring setidaknya hampir 3 mingguan di rumah sakit tersebut. Sepulangnya dari sana, ia pun mendapatkan sejumlah uang yang cukup untuk membeli rumah dan sebuah lahan kecil.
Semua berjalan seperti keinginannya, namun bencana gempa di Nepal pada tanggal 25 April kemarin menghancurkan segalanya. Rumah hasil jual ginjal tersebut rusak tak berbentuk dan berbuah masalah baru untuknya. Apakah Greeta menyesal? Well, rasanya tidak perlu menanyakan pertanyaan yang sudah sangat jelas jawabannya tersebut.
3. Tidak Semua Mendapatkan Uang untuk Ginjalnya
Ya, faktanya memang begini adanya. Ada cukup banyak orang yang kehilangan ginjal namun tidak mendapatkan uang sepeser pun. Untuk kasus ini juga lumayan sering terjadi dan biasanya ketika para brooker organ sudah mulai kehabisan stok. Sudah kehilangan organ lalu tidak diberi uang, mana ada sih yang mau diperlakukan seperti itu? Sehingga bisa ditebak kalau prosedurnya adalah lewat jalan kriminal.
Biasanya kejadian buruk ini menimpa warga yang tidak mau mendonorkan ginjalnya. Mereka jadi korban penculikan untuk kemudian diambil sebelah ginjalnya. Beberapa orang yang mengalami hal ini mengatakan kalau mereka dibius oleh seseorang dan kemudian ketika bangun sudah melihat jahitan panjang di perut mereka.
Nasib ini bisa dibilang masih sangat beruntung. Pasalnya, para penjual organ gila itu tidak segan-segan pula menghabisi nyawa seseorang untuk diambil ginjalnya, bahkan sepasang sekaligus.
4. Modus Penipuan Para Brooker Ginjal
Mana ada sih orang yang mau ditawar ginjalnya dengan harga yang begitu murah? Jadi, sangat masuk akal jika para brooker ginjal ini melakukan tipu daya untuk melakukan aksinya tersebut. Banyak di antara warga yang selalu diyakinkan kalau manusia sejatinya hanya membutuhkan sebuah ginjal saja. Bahkan para brooker ini juga mengatakan kalau ginjal bisa tumbuh lagi seiring berjalannya waktu.
Kurangnya edukasi dan memang kepepet keadaan ekonomi, para penduduk miskin Hokse pun menerima argumen ini. Kemudian mereka dibawa ke rumah sakit dan sepulang dari sana segepok uang sudah berada di tangan.
Modus penipuan lainnya bahkan lumayan rapi. Para brooker ini memberikan tawaran bekerja di luar negeri, yang paling sering adalah India dan Bangladesh. Namun sesampainya di sana, para warga Hokse yang lugu ini dibedah perutnya untuk diambil satu ginjalnya. Beberapa masih diberi uang namun rata-rata tidak mendapatkan apa pun.
5. Perlakuan Buruk Orang-Orang Sekitar
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga masih tersiram kaleng cat, begitu lah potret para warga Hokse. Sudah kehilangan ginjal, hanya mendapatkan sedikit uang, mereka juga pasti dikucilkan oleh komunitas. Tidak hanya itu, kadang anak-anak yang orangtuanya diketahui menjual ginjalnya pasti jadi obyek bullying.
Sehingga tak heran kalau banyak dari mereka yang justru makin terpuruk setelah menjual ginjalnya. Krishna Pyari Nakarmi yang bekerja untuk People Rights Nepal juga mengatakan para warganya sering mengalami depresi dan alkohol menjadi pilihan mereka untuk menyelesaikan masalah.
Sungguh miris sekali keadaan para penduduk Hokse. Pemerintah sendiri sudah menyadari hal ini dan melakukan tindakan preventif, namun para brooker ini sangat lihai. Sehingga tidak mengherankan jika praktik ilegal ini bisa bertahan begitu lama.