Pada tahun 1998, seorang dosen muda Auckland University of Technology di New Zealand bernama Sharyn Graham datang ke Sulawesi Selatan untuk mengadakan penelitian tentang gender. Mengapa harus jauh-jauh datang ke Sulawesi? Jawabannya simple, karena dalam adat masyarakat Bugis, gender (jenis kelamin) tidak hanya dua (lelaki dan perempuan) seperti yang kita tau, melainkan ada 5 jenis.
Setelah penelitian tersebut, ia merangkum hasilnya dalam sebuah buku berjudul ‘Challenging Gender Norms: Five Genders Among Bugis in Indonesia’ yang terbit pada tahun 2007. Lalu, apa sajakah 5 jenis kelamin ini? Lebih lengkapnya dalam artikel Boombastis berikut.
Suku Bugis adalah masyarakat yang mengakui gender secara status biologi (jenis berdasar alat kelamin) serta gender (berdasar pada perilaku dan perasaan). Nah, seperti yang umum kita tau, dua gender pertama adalah lelaki dan perempuan. Jenis pertama ini adalah mereka yang berkelakuan sesuai dengan kodrat lahir. Saat seseorang lahir sebagai lelaki, maka ia menjadi sosok yang maskulin, berstatus ayah setelah menikah, menjadi kepala rumah tangga. Begitupun perempuan, adalah mereka yang lahir dan hidup sebagai perempuan tulen, melahirkan, menyusui anak, serta menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga.
Gender selanjutnya adalah Bissu, yaitu gender perpaduan antara lelaki dan perempuan. Dalam masyarakat Bugis, Bissu ini dianggap sebagai figur spiritual yang bisa menghubungkan manusia dengan dewa dan dunia lain. Untuk menjadi Bissu, seseorang bisa saja lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Dalam kehidupan sehari-harinya, seorang Bissu memiliki bahasa sendiri, yang disebut sebagai bahasa langit. Selain itu, mereka kerap memakai badi’ (pisau) yang biasanya merupakan pakaian lelaki, serta menyelipkan bunga di kepala layaknya perempuan. Peran Bissu dalam masyarakat adalah sebagai tempat meminta keberkahan, terutama ketika tiba musim akan bercocok tanam.
Kalau dalam bahasa sehari-hari yang lebih simple, Calabai ini sama halnya seperti lelaki berjiwa perempuan yang merasa terperangkap dalam tubuh yang maskulin. Namun, uniknya mereka tidak menganggap bahwa mereka perempuan, dan juga tidak dianggap perempuan oleh masyarakat. Calabai ini hanya seorang lelaki yang melakukan segala aktivitas yang dilakoni oleh perempuan. Misalnya, saat ada pesta pernikahan mereka yang bertugas memasak, mengurus dapur, serta sederet tugas para perempuan lain.
Nah, gender terakhir adalah oposisi dari Calabai. Dalam artian, ia adalah seorang yang terlahir sebagai perempuan namun melakukan pekerjaan dan aktivitas para lelaki. Dalam buku yang ditulis oleh Sharyn, ia menjelaskan jika Calabai menekuni pekerjaan berat seperti membuat peralatan logam seperti keris, pisau, pedang. Atau, menekuni bidang seperti supir angkot, tukang bangunan, pekerja kasar, dll. Calabai juga bisa merokok, berpakaian serta berkumpul dengan lelaki. Uniknya, ia juga tidak dianggap lelaki serta tidak berniat menjadi seorang lelaki.
Menarik bukan? Tak perlu jauh-jauh ke Negara Eropa ternyata untuk belajar mengenai gender, Indonesia memiliki itu semua. Dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud menyalahkan atau membenarkan gender apapun. Hanya menegasakan jika dengan segala kearifan lokal yang kita punya, kita bisa saling menghormati satu sama lain, layaknya yang dilakukan oleh orang-orang Bugis.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…