Kekerasan yang berujung dengan hilangnya nyawa dilingkungan pendidikan, rupanya masih terus membayangi Indonesia. Seperti yang dilansir dari news.detik.com baru-baru ini, seorang taruna Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan (ATKP) Makassar yang bernama Aldama Putra Pongkala, meregang nyawa setelah dihajar seniornya.
Sebelum kasus yang menimpa Aldama di atas, institusi pendidikan Indonesia juga pernah tercoreng dengan kasus kematian Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) beberapa waktu lalu. Dikutip dari laman news.okezone.com, ada sosok Erry Rahman (2000), Wahyu Hidayat (2002), Cliff Muntu (2003), dan Rinra Sujiwa Syahrul Putra (2011). Semuanya meregang nyawa karena aksi ‘koboy’ dari para senior mereka.
Seolah menjadi sesuatu yang umum, hal serupa ternyata memang seringkali terjadi di Indonesia. Ha inipun menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri. Apakah sistem pendidikan yang menjadi penyebabnya, atau karena faktor lain yang mendukung terjadinya tindak kekerasan tersebut.
Dikutip dari laman cnnindonesia.com, Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) rencananya akan dididik dengan model militer. Bahkan, rencana tersebut telah didiskusikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Panglima TNI yang kala itu dijabat oleh Jenderal Gatot Nurmantyo. Meski masih berupa konsep, toh kegiatan bernuansa militeristik sejatinya telah terjadi di lingkungan pendidikan yang bersifat ketarunaan.
Konsep senior dan junior dan semi militer yang memang kental dengan tradisi lembaga pendidikan, bisa menjadi dua sisi mata uang yang mendatangkan manfaat positif dan negatif bagi para siswanya. Seperti yang kita tahu, Akademi ketarunaan yang bergaya semi militer dianggap tepat karena mampu menggembleng siswa agar menjadi sosok yang disiplin dan memiliki mental yang bagus. Bisa dibilang, inilah sisi positif yang didapat.
Namun, hal tersebut bisa saja berubah menjadi hal negatif terhadap para siswa yang notabene adalah anak-anak remaja yang masih ‘hijau’. Aturan senioritas yang masih dijunjung tinggi di dalam lembaga, menjadi kekuatan superior yang digunakan untuk ‘menindas’ junior mereka. Terlebih, pakem semi militer yang digunakan tidak dibarengi dengan pengawasan dan tolak ukur yang sesuai.
Alhasil, banyak dari siswa junior yang kerap dihukum di luar batas kewajaran dengan dalih melanggar aturan maupun alasan untuk mengajarkan kedisplinan. Dari sisi senior, tindakan tersebut dianggap lumrah dan biasa di lingkungan akademi. Menurut penulis pribadi, hal ini bisa saja datang dari rasa dendam dan trauma mereka sewaktu masih menjadi junior.
Para siswa yang pernah mengalami ‘hukuman’ dari para kakak tingkatnya, akan melanjutkan tradisi tersebut pada juniornya saat mereka telah naik ke tingkat senior. Alhasil, pola ini akan terus berulang bak lingkaran setan yang tiada putusnya. Maka tak heran, kasus kematian dari para siswa yang datang dari lembaga-lembaga tersebut acap kali terjadi.
BACA JUGA: 7 Sekolah Kedinasan ini Bisa Jadi Pilihanmu yang Sedang Menunggu Ujian Nasional
Untuk itu, baik pengelola pendidikan dan pemerintahan harus duduk bersama untuk mengevaluasi kembali sistem yang digunakan. Bagaimana aturan dan regulasi yang diterapkan agar sama-sama menguntungkan. Terpenting, para siswa junior tak lagi menjadi korban keberingasan senior mereka dengan alasan hukuman untuk mendisiplinkan.