Peristiwa pembantaian massal saat terjadinya peristiwa Gerakan 30 September pada 1965 lalu ternyata terjadi pula pada negara Chili. Peristiwa kudeta militer tersebut berlangsung pada 11 September 1973. Badan Intelijen Amerika Serikat atau CIA dituding sebagai dalang yang berada di balik kekacauan berdarah tersebut.
Sebelumnya, Chili dikenal sebagai salah satu negara di kawasan Amerika Selatan yang dikenal makmur dengan pemerintahan yang dikendalikan oleh partai politik berhaluan kiri. Sayang, hal tersebut rupa-rupanya tak disukai oleh pemerintah AS sehingga menugaskan CIA untuk skenario sabotase negara lewat misi bersandi ‘Operation Jakarta’.
Kemakmuran Chili berawal saat Salvador Allende, politikus Partai Sosialis terpilih secara demokratis sebagai presiden pada tahun 1970. Popularitasnya begitu kuat di mata masyarakat melebihi partai politik berhaluan kiri lainnya seperti Partai Sosial Demokrat, Kristen Kiri, Partai Komunis, dan lainnya.
Keberhasilan Allende naik ke tampuk kepemimpinan Chili, dianggap menjadi kemenangan bagi rakyat kelas pekerja seperti buruh, petani kecil, dan masyarakat adat. Lewat semboyan “La via chilena al socialismo” atau sosialisme Chili, Allende membangun negaranya dengan kebijakan sosialis, yakni berorientasi pada kemakmuran rakyat.
Kebijakan tersebut antara lain seperti penyediaan layanan kesehatan, memberikan jaminan pendidikan, susu gratis untuk anak-anak, redistribusi pengadaan lahan untuk kaum petani, serta menerapkan kebijakan nasionalisasi pada industri penting. Kebijakan sosialis Allende sukses memberikan kemakmuran pada rakyat Chili.
Kebijakan nasionalisasi industri Allende pada bisnis-bisnis asing yang menguasai pertambangan di Chili rupa-rupanya mengusik ketenangan Amerika Serikat. Hal ini terjadi lantaran perusahaan multinasional asal Paman Sam itu rupa-rupanya ikut terdampak. AS yang saat itu dipimpin oleh Presiden Richard Nixon bereaksi keras dan melakukan pembalasan.
Sebagai langkah awal, Chili dihantam dengan skenario ekonomi berupa embargo dan menurunkan harga tembaga dunia yang selama ini menjadi ekspor andalan negara. Harga tembaga yang menuju ke titik terendah pada 1971, membuat perekonomian Chili amburadul. Terlebih, banyak bantuan dan investasi asing terhenti akibat embargo.
Posisi Allende pun digoyang lewat tekanan dari sejumlah masyarakat kelas menengah, hingga perpecahan politik di antara partai kiri lainnya. Tak lama kemudian, militer Chili meluncurkan aksi kudeta untuk menggulingkan Allende pada 11 September 1973. Pasukan dan tank dikerahkan untuk mengepung Istana kediaman Allende, La Moneda.
Setelah pengepungan, serangan udara dikerahkan dan menghancurkan beberapa bagian Istana. Tentara langsung menyerbu masuk dan menggeledah sembari mencari keberadaan Allende yang akhirnya ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Tak lama setelah itu, ribuan orang pendukung Allende mulai dicari untuk diinterogasi oleh militer.
Dilansir dari Tirto (11/11/2017), ribuan orang pendukung Allende dibunuh atau dihilangkan secara paksa. 5000 lainnya dikumpulkan di Stadion Santiago dengan dua pilihan, interogasi atau langsung dieksekusi pada 11 September 1973. Semua peristiwa yang terjadi saat itu tak lepas dari peran CIA.
Sebelum kudeta terjadi, pemerintah AS sejatinya telah khawatir atas kemenangan Allende yang notabene berhaluan sosialis. Opsi kudeta pun dipilih dengan berbagai macam skenario yang berkolaborasi dengan CIA untuk menggulingkan kekuasaan Allende. Mulai dari menempatkan jaringan intel CIA di Chili, menggiring opini massa lewat media, mendekati tokoh-tokoh militer, hingga menghasut pemimpin gereja.
Hingga pada akhirnya, Jenderal Augusto Pinochet berhasil naik ke tampuk kepemimpinan atas dukungan Amerika Serikat lewat kudeta berdarah yang dilakukannya. Periode kepemimpinannya selama 17 tahun, membuat Chili banjir darah lantaran banyak rakyat yang dibunuh hingga dipenjara tanpa diadili terlebih dahulu.
BACA JUGA: 5 Kudeta Penjatuhan Kekuasaan Terparah ini Membawa Perubahan Besar pada Dunia
Kelak, peristiwa penggulingan Allende oleh CIA diketahui bernama ‘Operation Jakarta’. Sebuah nama yang terinspirasi dari keberhasilan mereka melengserkan Sukarno lewat G30S/PKI. Baik Indonesia maupun Chili, kedua negara tersebut melewati fase di mana peristiwa pembantaian besar-besaran terjadi pada masyarakat yang dicap ‘kiri’.