Peranan intelijen lapangan di tengah-tengah sebuah konflik, tentu mempunyai tujuan strategis untuk menentukan pemenang perang yang sesungguhnya. Entah menggunakan trik licik, cara-cara kotor yang dimanipulasi sedemikian rupa dan sebagainya, lazim digunakan para prajurit bayangan tersebut. Salah satunya adalah NEFIS.
Dinas Intelijen Belanda yang bercokol pada masa revolusi kemerdekaan itu, sempat membuat panik anggota Republiken (pejuang Indonesia). Selain menggunakan orang Belanda sendiri, NEFIS juga merekrut kaum pribumi dan swasta-pro penjajah yang bermental penjilat dan anti kemerdekaan. Teror anggota NEFIS di Indonesia pun dimulai.
Jurus jitu NEFIS memporak-porandakan psikologis pejuang Republik
lazimnya seorang intelijen, perang urat syaraf (psywar) dilancarkan untuk mengacaukan konsentrasi lawan. Mereka juga kerap menggunakan berita bohong (Hoax) untuk mengacaukan koordinasi pejuang Indonesia. Dilansir dari Historia.id, Jenderal A.H Nasution dalam tulisannya di Tentara Nasional Indonesia Bagian I mengatakan, “ Serangan psikologis itu mencapai targetnya karena adanya kekacauan organisasi pertahanan dan masih kurang cerdasnya rakyat kita…”.
Membuat rakyat sipil panas dingin enggak karuan
Pertengahan tahun 1946, tersiar selentingan kabar bahwa mata-mata Belanda telah masuk ke daerah Bekasi yang dikuasai pejuang Indonesia. Mereka dikenali dengan ciri-ciri membawa simbol merah putih biru. Warna bendera Belanda. Alhasil, saling tuding dan curiga pun merebak di kawasan itu. Penumpang kereta api dari arah Jakarta tak luput dair aksi penggeledahan. Bahkan seorang ayah dan anak perempuannya, terpaksa dieksekusi di belakang Stasiun dengan cara dipenggal setelah kedapatan membawa kertas merah putih biru dalam tasnya.
Hasil kolaborasi apik antara Australia dan Belanda
NEFIS didirikan atas kolaborasi dua negara, Australia dan Belanda. Saat posisi para kolonial sedang terjepit pada perang revolusi, banyak pejabat tingginya yang mengungsi ke benua kanguru tersebut. Di sanalah, Jenderal Simon Hendrik Spoor mendirikan NEFIS atas perintah Komandan pasukan Belanda, Conrad Emil Lambert Helfrich. Berbasis di Melbourne, Australia, NEFIS bertugas untuk mengumpulkan data-data milik pejuang republik, pemerintah Indonesia, map, foto, situasi masyarakat Indonesia. Hasilnya dilaporkan secara rutin sebulan sekali.
Rekrut pedagang dan rakyat sipil sebagai anggota mata-mata
NEFIS diketahui banyak merekrut kaum swasta. Terutama mereka yang berprofesi sebagai pedagang. Di antaranya adalah Tjia Pit Kay terdapat Tjie Yoek Moy dan juga Nio Peng Liang. Bersama Belanda, mereka menyusun gerakan anti republik pada 1950. Dilansir dari tirto.id, ada seorang Polisi lokal bernama Yassin yang menjadi intelijen bagi Belanda. Karena kondisi saat peperangan yang cenderung tidak stabil, banyak dari mereka yang menggadaikan kesetiaannya pada negara untuk bergabung menjadi anggota NEFIS. Tak hanya dari kalangan militer, penduduk sipil pun tertarik bergabung semenjak NEFIS berkantor di Jakarta pada November 1945.
Kedigdayaan NEFIS robohkan mental satuan intelijen Indonesia
Bisa dibilang, NEFIS terlihat sangat superior pada zamannya. Dibandingkan dengan Indonesia, satuan intelijennya memang masih tergolong hijau alias kurang bergigi. Contohnya adalah Zulkifli Lubis. Ia pernah memimpin Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) sebagai bentuk counter part bagi NEFIS. Namun sayang, organisasi tersebut tak berumur panjang. Setelah itu, muncul Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP) di tubuh militer. Karena kondisi negara yang carut marut akibat perang, lembaga itu tak bisa berperan secara maksimal.
Dunia intelijen memang dingin, halus, serba misterius namun sangat menusuk. Sama halnya seperti NEFIS. Teror psikologis dan propaganda yang masif, bahkan sanggup membuat sebagian orang Indonesia menjadi pengkhianat bagi negerinya. Semua terekam dalam ritme sejarah yang bakal terus dikenang generasi selanjutnya.