Penjajahan orang-orang kolonial di masa lalu terhadap masyarakat Indonesia telah menyisakan banyak cerita pedih. Salah satu dari sekian kisah tersebut adalah soal praktik human zoo alias ‘kebun binatang manusia’, yang menampilkan kondisi rakyat Indonesia sebagai tontonan masyarakat kulit putih.
Sebuah utas yang diunggah di akun Twitter @potretlawas, (20/08/2020) menceritakan sejumlah orang-orang Indonesia dari berbagai daerah dikirim ke Amerika Serikat untuk dipamerkan di sana. Di mana wajah-wajah asal tanah nusantara dihadapkan di ratusan atau bahkan ribuan pasang mata kaum kolonialis Barat.
Enam orang asal Indonesia yang di bawa sebagai bagian dari acara pameran di AS
Enam dari 125-an orang yang dibawa ke Chicago dari Jawa untuk memeriahkan World's Columbian Exposition 1893 – menari, menabuh gamelan, menenun hingga mengolah teh kopi.
Acara begini yang kini kerap dinamai human zoo, saat orang tanah jajahan dipamerkan ke muka kolonialis barat. pic.twitter.com/BcqhihGnKl
— Potret Lawas (@potretlawas) August 20, 2020
Ada enam orang dari total 125-an orang dari Jawa yang dibawa menuju ke Chicago untuk memeriahkan sebuah acara bertajuk World’s Columbian Exposition pada 1893 silam. Keenam orang yang ikut dalam rombongan tersebut disuruh untuk menari, menenun, menabuh gamelan, hingga mengolah minuman seperti teh dan kopi. Mereka inilah yang dipertontonkan sebagai bagian dari human zoo atau ‘kebun binatang manusia’.
Kelompok yang tergabung dalam pameran yang bernama “Java Village”
Mereka yang dibawa ke acara eksibisi tersebut kebanyakan merupakan pekerja perkebunan dari Parakansalak dan Sinagar, Sukabumi, Jawa Barat. Orang-orang Indonesia tersebut kemudian dikumpulkan dalam satu kelompok yang diberi nama “Java Village” atau Kampung Jawa. Di sanalah mereka tinggal dan beraktivitas sembari dilihat oleh pengunjung expo yang merupakan orang-orang kulit putih.
Isi ‘Java Village” yang akhirnya menjadi komoditas jual beli oleh orang-orang kulit putih
Java Village sendiri berdiri di lahan seluas satu hektar, yang di atasnya dibangun rumah dari bambu berbagai ukuran sebanyak 36 buah. Ada rumah tinggal, lumbung, masjid (yang melantunkan azan 5 kali sehari), gardu, hingga balai pertunjukan. Pameran sendiri berlangsung sejak 1 Mei 1893 hingga Oktober 1893. Seluruh isi dari Java Village kemudian dibeli oleh pebisnis Marshall Field sebagai koleksi, dan kemudian dilego ke pihak lain.
Sosok ramah ala budaya Timur yang justru dipandang rendah dan tak dihargai
Sebuah catatan yang ditulis oleh Prof. Wilbur Olin Atwater dalam Preliminary Report of Investigation of Foods Exhibited at World’s Fair menunjukkan, dirinya melihat bahwa orang-orang Jawa tersebut sebagai sosok yang sopan, cerdas, dan berbudi luhur, namun tak dihargai. Terutama karena status sosialnya. Mereka tak lebih dari sekedar tontonan dan dianggap sebagai ‘obyek aneh’ dari belahan dunia lain (non-kulit putih).
Praktik human zoo yang juga menimpa masyarakat Afrika
Praktik human zoo tak hanya menimpa orang-orang Indonesia, tapi juga masyarakat kulit hitam yang dibawa dari beberapa negara di benua Afrika. Salah satunya dilakukan oleh Belgia terhadap tanah jajahan mereka. Di mana Raja Leopold II telah mengimpor sebanyak 267 orang asal Kongo ke ibu kota Brussels, untuk dipamerkan di sekitar istana kolonialnya, Tervuren, yang terletak di sebelah timur Brussel.
BACA JUGA: Mirisnya Human Zoo, Kebun ‘Binatang’ Namun Diisi Oleh Manusia Hidup di Era Penjajahan Kolonial
Praktik kebun binatang manusia seperti ‘human zoo’ di atas mungkin tak banyak diajarkan dalam buku sejarah di sekolah-sekolah. Tak ada yang menyangka jika masyarakat Indonesia yang kaya akan budaya, dulu pernah dilecehkan sebagai bahan tontonan orang-orang kulit putih. Sebuah ironi sekaligus bagian pahit dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Miris ya Sahabat Boombastis.