Jauh sebelum virus corona menjadi wabah yang menular di Indonesia, masyarakat di tanah air yang dulu masih bernama Hindia Belanda juga sempat terkena sebuah penyakit yang kelak dikenal sebagai flu Spanyol pada 1918. Saking dahsyatnya wabah tersebut, diperkirakan jutaan orang menjadi korban dari ganasnya flu Spanyol.
Meski bernama flu Spanyol, penyakit yang mirip dengan influenza itu bukanlah berasal dari negara Spanyol. Asal muasal virus sendiri menjadi perdebatan hingga kini. Saat menjadi wabah yang menular ke seluruh dunia, flu Spanyol dengan cepat menyebar dan menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit.
Wabah mematikan yang menyebar sangat cepat hingga ke Hindia Belanda
Merujuk tulisan Kristy Walker dalam “The Influenza Pandemic of 1918 in Southeast Asia” yang terbit di buku Histories Health in Southeast Asia: Perspectives on the Long Twientieth Century (2014), flu Spanyol digambarkan sebagai wabah yang menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru dunia. Eropa, Amerika Serikat, bahkan hingga ke Asia dan sampai di Hindia Belanda, ikut terdampak wabah tersebut. Menurut sejarawan Ravando Lie, gelombang penularan flu Spanyol terjadi sebanyak dua kali, yakni pada Juli-September 1918 dan Oktober-Desember 1918.
Dugaan penyebaran sendiri ditularkan oleh mereka yang sebelumnya telah terjangkit flu Spanyol di Singapura, dan kemudian menyeberang ke Hindia Belanda sebagai penumpang kapal. “Diduga kuat, penyakit ini ditularkan penumpang (kapal) yang baru saja tiba dari Singapura. Virus ini bahkan menjangkiti seluruh penumpang dan awak kapal Toyen Maru yang saat itu baru tiba di Makassar, setelah berlayar dari Probolinggo,” ucapnya yang dikutip dari Alinea.id (30/01/2020).
Menginfeksi banyak wilayah di Hindia Belanda hingga jutaan nyawa menjadi korban
Dampak dari penularan itu pun sangat luar biasa. Menurut Laporan Dinas Kesehatan Sipil (Burgerlijken Geneeskundigen Dienst/BGD) Hindia Belanda tahun 1920 menyebutkan, hampir tidak ada wilayah di Hindia Belanda yang tidak tertular oleh wabah flu Spanyol. Di kota-kota besar seperti Magelang, Surabaya, Bandung, Sukabumi, Cimahi, Yogyakarta, Magelang dan Batavia, ratusan orang dikabarkan meninggal dunia, seperti yang diwartakan oleh Surat kabar Tjahaja Timoer edisi 29 Juli 1918.
Masih menurut laporan Surat kabar Tjahaja Timoer, saking banyaknya dari mereka yang terinfeksi flu Spanyol, sebuah rumah sakit di Sawahlunto sampai kepayahan dalam menangani pasien yang jumlahnya sangat banyak. “Di Medan dan Deli, lonjakan penderita flu mengakibatkan rumah sakit di Ombilin Sawahloento kewalahan dan kekurangan tempat,” tulis Tjahaja Timoer. Menurut Ravando yang dikutip dari Alinea.id (30/01/2020), korban meninggal dunia di Hindia Belanda diperkirakan berjumlah sekitar 1,5 juta orang pada November 1918.
Upaya keras pemerintah kolonial demi menyembuhkan flu Spanyol
Wabah yang dinilai sebagai ancaman serius ini membuat pemerintah kolonial bekerja keras untuk mencari solusinya. Di tengah keterbatasan pada saat itu, sistem administrasi yang digunakan begitu kacau. Mulai dari catatan kematian yang tak akurat, kesalahan diagnosa, hingga adanya dokumen yang hilang. Besar kemungkinan, masih ada banyak dari mereka yang jadi korban flu Spanyol tak tercatat. Terutama yang berada di pedalaman yang jauh dari kota.
Menurut laporan Siddharth Chandra dalam “Mortality from the Influenza Pandemic of 1918-19 in Indonesia”, yang terbit di jurnal Population Studies (2013), wabah flu Spanyol memusnahkan populasi di beberapa keresidenan, seperti Keresidenan Surabaya (17,54%), Keresidenan Madura (23,71%), Keresidenan Kediri ( 20,62%), Keresidenan Banten (21,13%), dan Keresidenan Cirebon (16,62%). Beruntung, pemerintah kolonial akhirnya berhasil menemukan obat berupa tablet untuk sembuhkan penderita flu Spanyol.
BACA JUGA: 5 Wabah Penyakit Mematikan ini Pernah Membuat Indonesia Jatuh Bangun
Meski Flu Spanyol telah reda pada tahun 1919, pemerintah kolonial yang kala itu memegang kendali pemerintahan dianggap gagap dan kurang tanggap saat menghadapi wabah tersebut. “Pemerintah kolonial sangat lambat menangani Flu Spanyol. Padahal di negara lain jelas sudah menelan banyak korban. Tapi enggak ada upaya pencegahan atau protokoler yang jelas dalam mengantisipasi pandemi tersebut,” ucap sejarawan Ravando Lie yang dikutip dari Tirto.id (17/03/2020). Nah, akankah hal serupa kembali terulang saat pemerintah Indonesia menghadapi ancaman virus corona?