Setelah dihebohkan dengan khasiat kayu bajakah beberapa waktu silam, tanah Kalimantan kembali menjadi perbicangan karena adanya daun ajaib yang bernama kratom. Ya, tanaman tersebut bahkan telah menjadi komoditas ekspor besar dengan Amerika Serikat sebagai konsumen utamanya. Meski tenar dan sangat populer di luar negeri, hal tersebut belum tentu sama dengan yang ada di Indonesia.
Dilansir dari BBC, Badan Narkotika Nasional (BNN) sedang memproses kratom untuk dimasukkan ke Golongan I narkotika. Itu artinya, keberadaan kratom akan dilarang dan dianggap sebagai benda yang haram untuk dikonsumsi. Namun jika dilihat dari banyak sisi- baik secara medis dan ekonomis, ternyata ada rantai konsumen yang justru mendapat untung dari keberadaan kratom.
Daun ajaib yang sangat menguntungkan petani
Bagi sekitar 300.000 petani di Kalimantan, kratom adalah lahan yang menjanjikan keuntungan besar jika dibudiyakan. Salah satunya adalah Matius yang akrab disapa sebagai Mario di kampung tempat tinggalnya. Dalam sehari, Mario bahkan bisa mendapatkan Rp 600 ribu. “Lumayan lah dapat 600.000 sehari. Tapi belum langsung jadi uang. Tapi paling tidak sudah kita petik, empat hari di rumah terus kita jemur sebentar sekitar lima menit baru kita kemas,” jelasnya yang dikutip dari BBC.
Digunakan secara luas di luar negeri
Amerika Serikat menjadi salah satu negara terbesar yang menjadi tujuan ekspor kratom. Di negeri Paman Sam itu, produk turunannya banyak ditemui di beragam tempat. Bahkan, bar-bar yang menyediakan kratom mulai bermunculan di negara bagian New York. Kebanyakan, kratom dikonsumsi dalam bentuk bubuk atau pil dan digunakan sebagai terapi oleh mereka yang memiliki ketergantungan pada opium. Bahkan, badan hukum narkoba (Drug Enforcement Administration) AS mengumumkan untuk memasukkan kratom ke Golongan I narkotika dan tak mengizinkan kratom digunakan dalam medis pada 2016 silam.
Bakal dilarang oleh BNN karena dianggap sebagai tanaman narkotika
Langkah serupa di atas, tampaknya akan diikuti oleh Indonesia lewat Badan Narkotika Nasional (BNN) yang sedang memroses kratom untuk dimasukkan ke Golongan I narkotika. Hal tersebut mengindikasikan, baik pengguna dan pengedar jaringan kratom akan diberlakukan hukuman seperti tersangka narkotika lainnya. Ini artinya, baik mereka yang memiliki kepentingan secara komersial, akan dijerat oleh hukum tersebut. “Kepentingan bisnis kadang tidak kompatibel dengan kepentingan hukum. Kepentingan bisnis illegal ya illegal, legal ya legal,” ujar juru bicara BNN Sulistyo Pudjo yang dikutip dari BBC.
Memiliki beberapa khasiat yang masih harus diuji secara klinis
Ada banyak hal yang membuat keberadaan kratom menjadi kontroversial. Salah satunya adalah soal anggapan adanya banyak khasiat yang dihasilkan, seperti memiliki efek stimulasi dan penghilang rasa sakit. Menurut peneliti kratom Dr. Ari Widiyantoro dari FMIPA Universitas Tanjungpura berpendapat, bukan soal pelarangan, tapi adanya pengawasan lewat aturan resmi Kementerian Kesehatan akan potensinya jika digunakan secara medis. “Cuman masalahnya penggunaannya harus diatur, dosisnya terutama, dan siapa yang harus memakai,” kata Dr. Ari yang dikutip dari BBC.
Zat yang ada pada daun kratom dianggap bisa menyembuhkan kecanduan opium
Daun kratom yang memiliki nama latin Mitragyna speciosa ini , dianggap memiliki zat bernama mitraginin yang sangat berkhasiat. Berdasarkan penelitian Dr. Ari, zat tersebut dapat berfungsi sebagai katalisator opium agar bisa bekerja dengan baik. Mereka yang tadinya mengidap ketergantungan pada opium, pelan-pelan dapat berkurang. Selain itu, mitraginin juga bisa memberikan efek sedatif dan anti nyeri. Sama seperti yang dilakukan di Amerika Serikat.
BACA JUGA: Dianggap ‘Menyembuhkan’, Inilah Sisi Lain Ganja yang Jadi Perdebatan di Indonesia
Sebelum dilarang, ada baiknya jika para ahli seperti BNN, dokter, dan ilmuwan melakukan penelitian daun kratom bersama-sama. Bukan hanya soal yang katanya mengandung zat ‘membahayakan’, tapi melihat adanya potensi terkait kebutuhan medis juga perlu mendapat perhatian. Mungkin bisa dilakukan penetapan atau semacam standar yang disepakati bersama. Baik penggunaan secara medis dan terapi pada mereka yang membutuhkan.