Beberapa waku lalu, militer Indonesia sempat melancarkan DOM (daerah operasi militer), di wilayah Aceh dan sekitarnya. Dalam aksinya itu, seluruh personel TNI diterjunkan untuk mengatasi pemberontakan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Karena mereka lebih menguasai medan pertempuran yang mayoritas hutan, pegunungan dan rawa, prajurit TNI sempat kewalahan dibuatnya.
Selain ahli perang gerilya, kekuatan GAM ternyata ada pada sang pemimpin yang bernama Hasan Tiro. Ditangannya, terletak startegi perang dan ratusan keputusan penting yang mewarnai perjalanan GAM dalam aksinya menentang tentara republik. Alhasil, sosoknyapun menjadi perbincangan di kalangan elite Indonesia. Selama itu pula, sepak terjang dan perintahnya di lapangan membuat kisah Hasan Tiro dalam memimpin GAM sangat menarik untuk diurai.
Pemberontakan rakyat aceh yang telah muncul sejak zaman kemerdekaan
Dilansir dari tirto.id, perlawanan rakyat aceh kepada Indonesia muncul pada 1950. Hal ini dipicu setelah status Aceh diturunkan menjadi karesidenan di bawah Sumatera Utara. Alhasil, sosok Daud Beureueh yang pernah menjadi Gubernur militer di zaman revolusi pun terpancing emosinya dan menyatakan perlawanannya pada pemerintah.
Ia pun menyatakan diri bergabung dengan kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan S.M. Kartosuwirjo. Sayang, perjuangannya kandas pada 1962 setelah pasukan separatis cabang Aceh itu berhasil ditumbangkan tentara Indonesia.
Perjuangan dilanjutkan oleh Hasan Tiro
Sosok Hasan Tiro lah yang akhirnya tampil sebagai penerus perlawanan Daud Beureueh. Dirinya saat itu tinggal di New York, bekerja pada lembaga PBB dalam departemen khusus urusan Indonesia. Pada 1953, ia kembali ke Aceh untuk mendukung perjuangan Daud Beureueh yang sebelumnya dipadamkan pemerintah Indonesia.
Pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro secara resmi mendirikan GAM dan menyatakan perlawanannya kepada Indonesia sebagai pemerintahan yang sah. Yang menarik, Hasan Tiro menghembuskan isu mengenai sumber daya alam Aceh yang melimpah untuk menarik simpati masyarakat.
Sumber daya alam dan kemiskinan menjadi strategi ampuh untuk merekrut pejuang
Untuk merekrut pasukan GAM, Hasan Tiro kerap memakai propaganda mengenai SDA Aceh yang melimpah. Di samping itu, kemiskinan yang merajalela dan ketimpangan sosial antara pendatang dan penduduk lokal juga kerap digunakan. Alhasil, di bawah kepemimpinan Hasan Tiro, kekuatan GAM pun meningkat hingga berkali-kali lipat.
Dilansir dari tirto.id, Negara Libya pimpinan Muammar Qadhafi dan Iran, ikut menyokong gerakan separatisme Aceh itu dengan bantuan berupa senjata. Hingga akhirnya, Aceh menjadi ladang kematian yang tragis sepanjang sejarah. Baik personel TNI, pasukan GAM hingga warga sipil, banyak yang meregang nyawa pada konflik tersebut.
Sosok sastrawan yang mempunyai bakat seni
Meski pernah memimpin kelompok militer sekelas GAM, Hasan Tiro ternyata mempunyai sisi lembut yang luput dari pandangan banyak orang. Sosok yang juga menyukai minuman coca-cola ini, pernah menulis sebuah naskah drama berjudul “The Drama of Achehness History” yang dibuatnya saat bergerilya di dalam hutan pada 1978. Selain itu, Hasan Tiro juga banyak menulis buku tentang aceh.
Dilansir dari tribunnes.com, di antaranya adalah Acheh in World History (Atjeh Bak Mata Donja, 1968), One-Hundred Years Anniversary of the Battle of Bandar Acheh (Sireutoih Thon Mideuen Prang Bandar Atjeh, 1973), The Political Future of the Malay Archipelago (Masa Ukeue Politek Donja Meulaju, 1965) dan The Struggle for Free Acheh (Perdjuangan Atjeh Meurdehka, 1976).
Pebisnis handal yang mencita-citakan kemerdekaan rakyat Aceh
Hasan Tiro bukanlah orang yang sembarangan. Selain handal dalam berpolitik, ia juga dikenal sebagai pengusaha besar berskala internasional. Rekan-rekan bisnisnya banyak yang berasal dari AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.
Hasan Tiro bahkan tak memiliki hubungan komersial dengan Indonesia. Sebagai seorang konsultan di lembaga seperti PBB, ia banyak memimpin para delegasi dari berbagai negara. Saat pecah konflik antara GAM dengan TNI, ia sempat melarikan ke luar negeri dan menjadi warga negara Swedia sejak tahun 1979. Yang mengharukan, pemerintah sempat memulihkan statusnya sebagai WNI sebelum wafat pada 2 Juni 2010.
Meski hidup sebagai pelarian selama 30 tahun, Hasan Tiro cukup efektif memimpin pergerakan GAM di Indonesia. Sebagai generasi penerus, kita tak harus mencontoh apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Kecakapannya dalam berpolitik sekaligus cerdas sebagai pebisnis handal, tentu merupakan hal positif dari sosok Hasan Tiro yang bisa diteladani.