in

Dilema Napi Saat Wabah: Dilepas Bikin Resah, Dibiarkan Bisa Buat Mereka Tergilas Corona

Merebaknya wabah corona di beberapa daerah Indonesia menimbulkan banyak dampak yang serius. Tak hanya soal kesehatan hingga keselamatan masing-masing, tapi juga memunculkan masalah lainnya, yakni nasib para narapidana di dalam tahanan. Seperti yang diketahui corona menyebar lewat sekumpulan orang yang berkerumun. Bagi mereka yang berada di dalam penjara, hal ini sangat rentan terjadi jika ada carrier di antara mereka.

Untuk mengantisipasi hal ini, Menkumham Yasonna Laoly membebaskan narapidana dan anak sebanyak 30.000 dari lapas yang dinilai melebihi kapasitas, dikutip dari Tirto.id (01/04/2020). Kebijakan ini kemungkinan masih akan terus berlanjut sembari mengkaji hal lain yang perlu dilakukan secepatnya.

Satu hal yang perlu disadari adalah, seberapa jauh pemahaman para tahanan soal corona dan pencegahannya. Meski kebebasan telah diperoleh, ada hal lain yang menunggu mereka di luar sana. Imbauan pemerintah soal physical distancing yang digaungkan beberapa waktu lalu, mau tak mau harus mereka lakukan jika tidak ingin tertular wabah corona.

Keputusan untuk membebaskan 30.000 narapidana demi menghindari penyebaran wabah corona di area lapas memang patut diapresiasi. Namun upaya ini diakui masih jauh dari kata efektif. Menurut Menkumham Yasonna Laoly yang dikutip dari Tirto.id (01/04/2020) mengatakan, pengurangan 30.000 narapidana yang dibebaskan dari jumlah 271.000 ternyata masih over-kapasitas.

Yasonna sendiri masih mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas yang ada. Sebelumnya, keputusan untuk membebaskan para narapidana dan anak tersebut disebutkan dalam Kepmen Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi. Tujuannya sendiri adalah mencegah sekaligus mengatasi penyebaran wabah corona.

Kembali soal tahanan, pulangnya para napi ke kehidupan masyarakat, mungkin secara tidak langsung akan menimbulkan sedikit distorsi sosial antara kedua belah pihak. Baik dirasakan oleh mantan narapidana yang bebas, maupun warga yang akan menerima mereka tinggal kembali di lingkungannya. Sederhananya, masyarakat mungkin masih kurang percaya dan ada rasa curiga terhadap para narapidana yang ada.

Ilustrasi narapidana bebas dari penjara [sumber gambar]
Di sisi lain, dilema juga akan dirasakan oleh para narapidana yang bebas. Di mana mereka mensyukuri kebebasannya yang lebih cepat, tapi juga ragu apakah masyarakat mau menerima kembali. Terutama narapidana yang mungkin memiliki track record buruk dan catatan kriminal yang kelam di masa lalu. Belum lagi masalah lain yang juga tak kalah pentingnya, yakni menghindar dari wabah Covid-19.

Tak hanya soal meraih kepercayaan dari masyarakat, para napi yang bebas juga bakal berjuang untuk mencari cara demi menyelamatkan dirinya dari wabah corona. Selama mendekam di dalam penjara, bisa saja mereka kekurangan informasi soal Covid-19. Utamanya soal bagaimana wabah tersebut bisa menular dan imbauan pemerintah apa saja yang seharusnya dilakukan.

Masih ada hal lain yang harus diperhatikan saat mereka bebas di tengah wabah corona [sumber gambar]
Membebaskan 30.000 tahanan mungkin tak sesulit memberikan pemahaman tentang corona agar mereka benar-benar mematuhi imbauan pemerintah. Susahnya lagi, masyarakat terkadang memberikan contoh buruk dengan sikap yang tidak menghiraukan imbauan pemerintah. Syukur-syukur jika para napi tersebut sebelum bebas telah dibekali informasi soal Covid-19, bagaimana cara penularan wabah tersebut, dan dan apa-apa yang perlu dilakukan agar tak tertular.

Lagipula, penjara yang melebihi kapasitas memang rentan membuat para napi di dalamnya tertular virus corona. Jika tak segera dilakukan, tentu akan menjadi beban bagi negara yang saat ini juga kewalahan dalam menangani penyebaran wabah. Belum lagi jumlahnya mereka yang mencapai ratusan ribu jiwa. Kebijakan Menkumham Yasonna Laoly yang memberikan kebebasan pada 30.000 narapidana dan anak memang patut diapresiasi.

Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly [sumber gambar]
Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan tanggal 29 Maret 2020, provinsi Sumatera Utara menjadi yang terbanyak dengan jumlah 4.730 orang narapidana dan anak yang diusulkan asimilasi dan hak integrasi. Selanjutnya disusul Jawa Timur (4.347), dan kemudian provinsi Jawa Barat dengan jumlah (4.014). Meski telah dikurangi, toh masalah kelebihan kapasitas masih belum teratasi.

Menkumham Yasonna Laoly sendiri masih mengkaji dan mencari jalan keluar agar masalah tersebut bisa segera diatasi. Bukan apa-apa, mereka yang masih tersisa di dalam termasuk napi yang merasakan kelebihan kapasitas, di mana hal tersebut rentan menjadi jalan penularan Covid-19 yang dikenal mudah menyebar. Mau tak mau, imbauan pemerintah seperti physical distance dan hidup bersih bisa diberlakukan di sana.

BACA JUGA: 6 Penjara Paling Humanis yang Memperlakukan Napi dengan Sangat Istimewa

Selain upaya menekan penyebaran wabah corona dan mengurangi kelebihan kapasitas, pembebasan 30.000 narapidana dan anak itu dinilai bisa menghemat anggaran negara, sebesar 260-an milyar Rupiah menurut prediksi Ditjen Pemasyarakatan Yunaedi yang dikutip dari Nasional.kompas.com (01/04/2020).

Written by Dany

Menyukai dunia teknologi dan fenomena kultur digital pada masyarakat modern. Seorang SEO enthusiast, mendalami dunia blogging dan digital marketing. Hobi di bidang desain grafis dan membaca buku.

Leave a Reply

Hal yang Perlu Dipertimbangkan jika Ingin Nikah Muda, Bukan Sekedar Perkara Halal Saja

5 Usaha Makanan Artis ‘Paling Niat’, Bukti Mereka Tak Hanya Jualan Nama Saja