Gerakan 30 September 1965 atau lebih dikenal sebagai G30S/PKI, hingga saat ini dikenang sebagai bagian kelam dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Dalam peristiwa tersebut, perwira tinggi dari Angkatan Darat telah menjadi korban penculikan hingga akhirnya dibunuh dengan keji.
Pemerintah pun memutuskan untuk melarang keberadaan PKI dan semua hal yang berbau komunisme. Aksi ‘bersih-bersih’ dari unsur ‘merah’ tersebut sempat terjadi di berbagai pelosok negeri. Masyarakat yang diduga terlibat atau dicurigai menjadi simpatisan PKI, diciduk tanpa ampun oleh aparat militer pada saat itu yang gencar melakukan operasi.
Kita pasti sering melihat potret 25 lelaki [diduga] simpatisan Partai Komunis Indonesia duduk melipat kaki dalam sebuah lubang di Boyolali akhir 1965 ini.
Namun hampir pasti juga kita belum pernah mengetahui kisah asalnya. Ini cerita mereka yang dilupakan. pic.twitter.com/QxGfRfQqsr
— Potret Lawas (@potretlawas) September 29, 2018
Salah satunya berhasil diabadikan dalam sebuah potret hitam putih yang memperlihatkan sekumpulan orang tengah duduk dengan kaki terlipat di sebuah lubang. Dalam sebuah postingan yang diunggah oleh akun Twitter Potret Lawas, pada 29 September 2018 silam, orang-orang tersebut diduga sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berada di Boyolali pada tahun 1965.
Tak banyak yang mengetahui kisah tersebut karena memang hanya dipandang sebagai sebuah kepingan sejarah – terlebih menyangkut soal PKI dan komunisme, yang perlahan-lahan dilupakan karena kemungkinan tabu di era Orde Baru Soeharto. Kini, cerita di dalam foto itu kembali muncul seiring peringatan G30S/PKI yang mulai semarak jelang 30 September.
Orang-orang yang ada di dalam foto tersebut, merupakan masyarakat yang diambil oleh tentara dari pelbagai desa di Boyolali. Mereka lantas dimuat ke dalam truk dan dibawa ke sebuah tempat, hingga akhirnya disuruh masuk ke dalam lubang begitu saja. Bagi kita yang menyaksikan, mungkin berpikir bahwa hidup mereka bakal tak berlangsung lama.
Mereka dibiarkan di sana sehari semalam dalam posisi duduk dengan kaki yang ditekuk. Dilarang berdiri, tanpa diberi makan dan air, dan dibiarkan tanpa kepastian bertanya dosa apakah gerangan yang diperbuat. Usai 24 jam diperlakukan demikian, satu persatu diseret ke dalam tahanan. Interogasi pun dimulai.
Interogasi yang dilakukan cukup menciutkan nyali para tahanan tersebut. Satu per satu ditanyai dengan kasar. “Kamu PKI? Kamu mateni? Kamu …?”. Begitulah ‘sesi tanya jawab’ yang berlangsung pada saat itu. Bisa dibilang, lubang yang mereka masuki itu sejatinya merupakan perkenalan, “Kami bisa sekeji ini.”
Wilayah Boyolali bisa dibilang menjadi ‘teater’ awal dari pembantaian orang-orang yang dituduh atau dianggap terlibat dengan PKI. Dalam sebuah peta yang dikeluarkan oleh Angkatan Darat, pembersihan dirancang setidaknya dari 2 mingguan usai G30S terjadi. Hal tersebut dimulai dari Boyolali yang dianggap sebagai kawasan kritis yang harus segera dibersihkan.
Warga yang tertuduh komunis di Boyolali juga menerima penyiksaan dengan metode yang beragam. Tentara, dibantu pemuda dan ormas, seolah masih mencoba-coba formula terampuh. Dari yang biasa seperti dipukul dan dijepit. Hingga diarak, diiris, dipicis! Semua dicoba asal korbannya bisa meregang nyawa.
Sebelum peristiwa 1965 terjadi, PKI sendiri berhasil meraup 52,16 % suara di Boyolali dalam pemilu. Kemenangan telak ini menjadikan wilayah tersebut sebagai basis “si merah.” Tak hanya di Boyolali, pembersihan serupa juga terjadi di wilayah-wilayah Indonesia lainnya yang disinyalir menjadi basis pendukung PKI.
BACA JUGA: 5 Daerah Bekas Penumpasan PKI di Indonesia Ini Terkenal Angker
Peristiwa kelam tersebut telah berlalu. Namun kenangan dan kengeriannya masih dirasakan hingga saat ini. Terutama menjelang peringatan peristiwa G30S/PKI yang ramai menjadi sorotan masyarakat luas. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan memetik hikmah yang ada.