Sejatinya, Indonesia tak pernah kekurangan talenta-talenta jenius yang tak kalah dengan masyarakat luar negeri. Hanya saja, keberadaan mereka terkadang jarang diperhatikan sehingga memilih negara lain yang mau menampung kreativitas dan skill yang dimiliki. Hal ini pula yang dirasakan oleh sosok yang bernama Richard Wych Bharata Setiawan.
Dilansir dari tekno.kompas.com, pria lulusan Desain Komunikasi Visual Universitas Trisakti itu merupakan salah satu otak di balik kesuksesan game Assassin Creed. Permainan itu sendiri mengisahkan tentang petualangan seorang tokoh yang kerap menjelajah lokasi-lokasi penting dunia. Baik di masa lalu maupun era modern.
Richard yang saat ini menjabat sebagai Level Artist di studio Ubisoft Montreal, Kanada tersebut, ternyata tak serta merta bisa diterima bekerja di sana. Sebaliknya, ia harus mengawali karirnya dari bawah. Sumber dari kompas menuliskan, Richard sempat bekerja sebagai desainer grafis pada 2005 lalu. Setahun kemudian, ia bergabung dengan pengembang game lokal yang bernama Matahari Studio sebagai special effects artist.
Kesempatannya untuk bekerja di perusahaan game internasional mulai terbuka pada 2008 silam. Di mana dirinya pada saat itu diterima sebagai level artist dan modeller di Ubisoft Singapura. Bekerja selama tiga tahun, ia kemudian pindah ke studio utama Ubisoft di Montreal, Kanada, dan bermukim di sana hingga saat ini.
Bekerja di balik layar sebagai Level Artist, menuntut Richard harus senantiasa berpikir kreatif. Ia bertugas untuk membuat obyek-obyek dan lingkungan dalam game berdasarkan referensi yang didapat, berikut limitasi interaksi dalam game yang ditetapkan oleh programmer. Dari situ, ia bersama timnya merumuskan hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam proses pembuatan game.
“Kalau diumpamakan, level designer membuat ‘mangkuk’ lingkungan dunia game berikut ‘level box’ yang mewakili obyek-obyek dalam dunia game. Level artist seperti saya kemudian mewujudkan dunia itu sesuai arahan,” jelas Richard mengenai bidang pekerjaannya.
Dilansir dari tekno.kompas.com, Richard pun kerap lembur demi menyelesaikan pekerjaannya. Hal ini terjadi karena Ubisoft menerapkan sistem milestone atau target pencapaian dalam kurun waktu tertentu. Terutama jika mendekati limit deadline. Tentu saja, hal ini merupakan salah satu resiko bagi mereka ingin terjun di industri game.
Sayangnya, kesuksesan Richard yang berkarir di luar negeri, belum bisa diikuti oleh industri game tanah air. Menurut dirinya, hal ini berkaitan dengan game developer di Indonesia yang bergerak sendiri-sendiri dan terpisah. Selain itu, tidak adanya investor besar yang berani melirik industri game tanah air, juga menjadi salah satu yang menghambat perkembangan.
“Namanya juga memenuhi kebutuhan hidup. Di Indonesia banyak talenta pembuat game berkualitas internasional, tapi penghasilannya kurang. Seandainya keadaan itu berubah, pasti semua yang bekerja di luar negeri akan pulang kampung dengan senang hati,” tandasnya.
Dari apa yang disampaikan oleh Richard di atas, sudah seharunya pemerintah Indonesia memfasilitasi mereka dan diberi wadah khusus untuk berkarya. Bukan sekedar perhatian semata, tapi bukti nyata agar para game developer tersebut bisa menghasilkan sesuatu yang bisa dibanggakan negara, sekaligus menopang perekonomian dari sisi industri kreatif. Semoga saja ya Sahabat Boombastis.