Pemerintah pusat terus bergerak cepat merumuskan serangkaian kebijakan guna menekan penyebaran wabah corona di Indonesia. Salah satunya adalah rencana menerapkan status darurat sipil. Menurut Presiden Joko Widodo, pembatasan sosial yang telah dilakukan sebelumnya bisa diiringi dengan kebijakan darurat sipil.
Wacana ini pun mendapatkan reaksi berupa penolakan yang luas dari kalangan masyarakat Indonesia. Tagar #TolakDaruratSipil pun menjadi trending topic di Twitter pada Selasa, (31/03/2020). Lantas, kenapa darurat sipil dianggap tak sesuai dijalankan untuk tangani corona?
Darurat Sipil digunakan hanya untuk redam pemberontakan bersenjata
Wacana pemerintah soal darurat sipil mendapat sorotan dari Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti. Dirinya menilai hal tersebut merupakan sesuatu yang berlebihan. Jika melihat dalam Perpu 23 Tahun 1959 tentang darurat sipil, hal tersebut digunakan untuk meredam peristiwa pemberontakan yang terjadi saat itu.
Hal ini jauh berbeda jika dihubungkan dengan kondisi masyarakat saat ini yang tengah berusaha mencegah wabah corona. Karena yang dihadapi berbeda, perlakuannya pun seharusnya tidak sama. “Kita kan nggak perlu itu, kita mau mengenyahkan virus, bukan pemberontak,” ucap Bivitri yang dikutip dari Nasional.tempo.co (31/03/2020).
Wacana yang dianggap tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan
Pemerintah sejatinya bisa menjalankan undang-undang yang ada untuk mengatasi wabah corona, tanpa harus berencana mengikutkan darurat sipil saat dijalankan nanti. Pertama adalah UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Kedua UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Kenapa demikian? Karena yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah bencana berupa wabah Covid-19, bukan pemberontakan bersenjata yang identik dengan darurat sipil yang mengacu pada Perpu 23 Tahun 1959. Bisa dibilang, aksi nyata dari pemerintah lebih ditunggu untuk mewujudkan kedua UU di atas dibanding harus gunakan wacana darurat sipil.
Pemerintah dikhawatirkan bertindak represif saat darurat sipil diberlakukan
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie, dalam buku “Hukum Tata Negara Darurat” (2008), darurat sipil merupakan penurunan status dari darurat militer atau keadaan perang, jika dilihat dari tingkat bahaya dan kondisi yang ada di lapangan. Karena itu, dikhawatirkan akan muncul sikap represif jika diterapkan di tengah wabah corona.
Hal ini diutarakan oleh Refly Harun, yang juga merupakan pakar hukum tata negara. Dirinya menyoroti bahwa yang harus dibenahi adalah kondisi kesehatan, bukan dari sisi tertib sosial yang ada di masyarakat. Dilansir dari Nasional.kompas.com (31/03/2020), bukan tak mungkin pengerahan aparat keamanan dan cara-cara represif digunakan saat darurat sipil berlaku.
Indonesia dinilai belum membutuhkan status darurat sipil untuk tangani corona
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, juga turut buka suara terkait dengan wacana pemerintah soal penggunaan darurat sipil. Menurut dirinya, kondisi Indonesia saat ini tidak butuh rencana tersebut, melainkan darurat kesehatan yang jelas memiliki keterkaitan dengan kondisi saat ini.
“Maka yang dibutuhkan adalah darurat kesehatan nasional. Tata kelolanya yang diperbaiki, misalkan platfrom kebijakan yang utuh dan terpusat, karena karakter COVID-19 membutuhkan kebijakan utuh dan terpusat,” kata Choirul yang dilansir dari News.detik.com (30/03/2020).
BACA JUGA: Berkaca dari Kisruh India, Inilah yang Harus Disiapkan Pemerintah RI Jika Pilih Lockdown
Tagar #TolakDaruratSipil yang menggema di media sosial Twitter, menjadi salah satu bentuk penolakan netizen terhadap wacana tersebut. Selain dianggap tak sesuai diterapkan untuk menekan wabah corona, para pakar menyebutkan bahwa darurat sipil ada untuk meredam pemberontakan bersenjata. Bukan wabah corona yang terjadi pada saat ini.