Persamaan hak adalah hal yang sudah semakin menjadi sorotan di era modern ini. Wanita ingin diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki dan tidak ingin dipandang sebelah mata. Tapi memang pada hakikatnya, tidak ada yang ingin dipandang sebelah mata saja. Maka selanjutnya, muncullah orang-orang yang berkoar soal kesetaraan. Tapi, kesetaraan seperti apa sebenarnya yang diinginkan?
Jauh sebelum munculnya orang-orang yang menuntut kesetaraan, persamaan hak, atau emansipasi di Indonesia yang identik dengan perjuangan Kartini atau di negeri-negeri Barat sana dengan adanya wanita-wanita besar, sesosok wanita Aceh sudah menunjukkan apa itu persamaan hak dan emansipasi dalam tindakannya. Dialah Cut Nyak Dhien, pejuang wanita dari tanah rencong yang turun langsung ke medan perang bersama ayah, suami, dan para pejuang kemerdekaan lain.
Cut Nyak Dhien kecil lahir pada tahun 1848 dari keluarga bangsawan. Jika diturut dari garis keturunan ayahnya, Cit Nyak Dhien adalah keturunan langsung dari Sultan Aceh. Ia tumbuh dalam keluarga yang taat beragama sehingga ia memperoleh pendidikan di bidang agama yang taat dari orang tua serta guru agamanya. Ia kemudian menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga di usia belia.
Seorang Wanita yang Ikut Langsung Turun di Medan Perang
Pada 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dengan ditembakkannya meriam ke daratan Aceh. Pada peperangan tersebut, Aceh dipimpin oleh Panglima dan Sultan Machmud Syah sedangkan Belanda dipimpin oleh Johan Harmen Rudolf Kohler. Belanda yang mendarat di pantai Ceureumen pada 8 April 1873 berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakar masjid tersebut. Bersama suaminya, Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien ikut turun langsung bertempur melawan Belanda yang memiliki persenjataan lengkap.
Melihat Masjid Besar Aceh dibakar, tidak membuat nyalinya ciut. Sebaliknya, semangat juang dan perlawanan Cut Nyak Dhien justru semakin berkobar. Dengan lantang ia berteriak, “Lihatlah kalian (Orang-orang Aceh)! Tempat ibadah kita dirusak! Mereka telah merusak nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita dijadikan budak Belanda?” Dengan lantang ia membangkitkan semangat pejuang untuk terus melawan desakan penjajah yang berusaha menguasai Aceh.
Peperangan ini berhasil dimenangkan oleh Kesultanan Aceh dan Kohler tewas tertembak pada April 1873. Namun perjuangan belum selesai, karena tempat tinggal Cut Nyak Dhien akhirnya berhasil diduduki Belanda di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten pada tahun yang sama dan Keraton Sultan jatuh setahun berikutnya. Cut Nyak Dhien dan bayinya, bersama ibu-ibu lainnya mengungsi. Sementara itu, suaminya berangkat untuk kembali merebut daerah tempat tinggalnya. Namun sayangnya, pada 29 Juni 1878, Ibrahim Lamnga meninggal dunia dalam pertempuran di Gle Tarum.
Meninggalnya Ibrahim Lamnga ini membuat Cut Nyak Dhien begitu marah. Cinta dan kesetiaannya pada sang suami, keyakinannya akan agama Islam dan darah perjuangannya berkobar. Dengan lantang ia bersumpah akan berada di garis depan melawan Belanda yang ia sebut sebagai kafir penjajah yang telah menewaskan ayah dan suaminya.
Tidak Mau Menikah Jika Tidak Diijinkan Berperang di Garis Depan
Memilih untuk menikah dan bersembunyi sepertinya adalah pilihan termudah dan tidak beresiko di zaman penjajahan. Tapi Cut Nyak Dhien yang bukan wanita pengecut dan lemah tidak akan mengambil pilihan tersebut. Dua tahun setelah meninggalnya Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien dipersunting oleh Teuku Umar. Namun wanita pemberani ini menolak lamaran tersebut karena ia masih ingin bertarung. Barulah setelah Teuku Umar mengatakan bahwa Cut Nyak Dhien boleh ikut serta di medan perang, maka keduanya menikah pada tahun 1880. Keduanya dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Cut Gambang. Bersama Teuku Umar, sepasang suami istri pejuang ini kembali melanjutkan perjuangan mereka.
Teuku Umar melakukan gerakan yang berbeda yaitu dengan mendekati Belanda dan bahkan bersama 250 pasukannya berpura-pura menyerahkan diri. Tentu saja Belanda begitu gembira melihat musuh yang paling merepotkan memilih berpihak kepada mereka. Belanda yang begitu gembira menjadikan Teuku Umar komandan unit pasukan dengan kekuasaan penuh. Namun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh sendiri termasuk Cut Nyak Meutia yang datang memaki Cut Nyak Dhien.
Setelah Teuku Umar berhasil mempelajari taktik Belanda dan pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia pimpin dengan orang Aceh. Ia kemudian membuat rencana serangan palsu ke basis Aceh. Maka Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien kemudian pergi membawa semua pasukan beserta perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda dan tidak pernah kembali lagi. Belanda yang panik berusaha melakukan operasi besar-besaran mencari Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Sementara itu para pejuang yang sudah dilengkapi dengan senjata yang lebih modern mulai menyerang Belanda dan berhasil menewaskan Jendral Jobus Ludovicius Hubertus Pel yang menggantikan Van Sweten.
Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar terus melakukan perlawanan yang membuat Belanda terus-terusan mengganti Jendral. Karena kewalahan Belanda kemudian mengirimkan unit khusus Marechaussee yang lebih kejam dan ganas. Karena pasukan ini, satu persatu pejuang Aceh tidak ikut melakukan perlawanan karena merasa ketakutan. Namun begitu Cut Nyak Dhien dan suaminya tetap dengan teguh bertempur di garis depan.
Meninggalnya Teuku Umar Tidak Membuat Cut Nyak Dhien Goyah
Kondisi gerilyawan Aceh yang ketakutan dimanfaatkan oleh Belanda. Mereka menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak. Karena mata-mata ini, rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899 diketahui. Teuku Umar akhirnya meninggal tertembak peluru.
Cut Gambang, anak Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien, tidak sanggup menahan kesedihan dan menangis melihat ayahnya yang sudah meninggal. Namun, Cut Nyak Dhien menampar Cut Gambang sebelum kemudian memeluknya. Saat memeluk anaknya dengan penuh kasih, Cut Nyak Dhien berkata, “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.” Ungkapan keteguhan seorang pejuang wanita.
Kini tanpa suami, Cut Nyak Dhien memimpin perlawanan menyerang Belanda di pedalaman Meulaboh selama 6 tahun secara terus menerus. Kondisi fisik Cut Nyak Dhien semakin melemah karena usia yang semakin tua dan kehidupan yang berat di dalam hutan. Meski begitu, ia tidak goyah dan terus melakukan perjuangan tanpa henti.
Sehingga tangan kanannya, Pang Laot Ali menawarkan untuk menyerah. Namun Cut Nyak Dhien begitu marah mendengar saran dari tangan kanannya ini. Pang Laot Ali yang tidak sampai hati melihat penderitaan wanita ini akhirnya memilih berkhianat dan melaporkan persembunyian Cut Nyak Dhien dengan syarat tidak boleh ada kekerasan dan tetap harus menghormatinya.
Dengan kondisi 8 hari tidak makan nasi dan bertahan hidup dengan makan pisang bakar, Cut Nyak Dhien terserang penyakit yang membutakan matanya. Maka dengan mudah Letnan Van Vuuren menyergap pejuang wanita yang gigih ini. Dalam kondisi rabun, ia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Namun karena kalah jumlah dan sudah semakin lemah, pasukan Belanda berhasil menangkap tangannya. Ia begitu marah dengan perbuatan Pang Laot Ali yang membuatnya tertangkap.
Cut Nyak Dhien yang tertangkap kemudian dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di rumah sakit. Sementara itu Cut Gambang melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan seperti yang sudah dilakukan oleh kedua orang tuanya.
Dibuang Jauh dari Tanah Kelahiran, Ia Tetap Memiliki Keteguhan Hati
Dalam masa tawanan pun Cut Nyak Dhien tidak menghentikan usahanya untuk terus berjuang. Ia tetap menjalin hubungan dengan para gerilyawan yang belum menyerah. Karena takut akan munculnya gerilyawan-gerilyawan lainnya, Belanda akhirnya membuat Cut Nyak Dhien ke Sumedang.
Pangeran Aria Suriaatmaja menerima tiga orang tawanan titipan pada 11 Desember 1906, namun ia tidak tahu siapa tiga orang ini. Ia tidak tahu bahwa salah satunya adalah wanita pejuang yang dengan berani turun langsung berperang melawan penjajah di garis depan. Cut Nyak Dhien yang saat itu sudah tua, rabun, serta menderita sakit encok mengenakan pakaian lusuh yang menjadi satu-satunya pakaian yang ia miliki sambil memegang tasbih dan periuk nasi dari tanah liat.
Melihat sosok wanita yang begitu taat beragama tersebut, Pangeran Aria Suriaatmaja tidak menempatkannya di penjara. Ia menitipkan Cut Nyak Dhien di rumah H. Ilyas yang merupakan seorang tokoh agama. Dalam pengasingannya, ia tetap memiliki keteguhan hati dengan taat beragama dan menolak semua pemberian Belanda. Hal ini menimbulkan banyak simpati dan masyarakat menaruh hormat padanya. Orang-orang berdatangan mengunjungi sambil membawakan pakaian dan makanan.
Sampai akhir hayatnya, ia tetap merahasiakan jati dirinya sampai akhirnya wanita pemberani ini tutup usia pada 6 November 1908. Jauh dari tanah kelahiran, keluarga, serta orang-orang yang mengenalnya, Cut Nyak Dhien dimakamkan dengan hormat di Gunung Puyuh tempat komplek pemakaman bangsawan Sumedang.
Tidak pernah ada yang tahu siapakah wanita renta yang dibuang ke Sumedang ini bahkan sampai Indonesia akhirnya mendapatkan kemerdekaannya. Barulah setelah dilakukan penelitian berdasarkan data dari pemerintah Belanda atas permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan, makam ini ditemukan dan masyarakat akhirnya tahu bahwa wanita renta tersebut adalah sosok wanita perkasa yang memimpin perjuangan gerilyawan Aceh.
Berjuang dengan keteguhan hati, tanpa pamrih, demi satu tujuan yaitu kebebasan dan kemerdekaan. Tidak peduli dirinya wanita, tanpa berkoar-koar di mulut saja, ia mengangkat senjata dan langsung turun ke garis depan melawan penjajah. Tanpa rasa takut dan harus menelan kepedihan karena ditinggalkan orang-orang yang dicintainya. Jauh sebelum orang Barat meneriakkan kesetaraan dan persamaan hak, Cut Nyak Dhien telah lebih dulu menunjukkan kemampuannya langsung di medan perang yang lebih berbahaya tanpa perlu berteriak ingin disetarakan.