Kamu mungkin sebelumnya kenal Banyuwangi cuma sebagai daerah perlintasan saat menuju ke Pulau Bali, atau tahu daerah ini lantaran cerita legendaris soal ilmu hitam di sana. Ya, mungkin dulu seperti itu, tapi kini daerah di ujung timur Pulau Jawa ini makin kece dan punya banyak inovasi. Mulai pendidikan, pertanian, kesehatan, dan tentunya pariwisata yang sudah kian dikenal.
Harus diakui emang sejak dipimpin Bupati Abdullah Azwar Anas, kabupaten yang punya julukan The Sunrise of Java itu tambah maju. Bahkan, kabupaten ini dapat juara dunia inovasi kebijakan pariwisata dari Badan Pariwisata Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) tahun lalu dengan mengalahkan ratusan negara lain. Asal kamu tahu, itu adalah gelar juara pertama yang diraih Indonesia sejak PBB rutin menggelar acara penghargaan pariwisata tingkat dunia.
Nah, setelah menghentak dengan prestasi luar biasa itu, Banyuwangi kini kembali bikin bangga. Sang bupati, Abdullah Azwar Anas, diundang pada Forum Tingkat Tinggi (High Level Forum) Leadership and Administrative Development for Innovative Governance (LEADING) in Asia di Tokyo, Jepang, Selasa (25/4/2017), yang digelar Japan International Cooperation Agency (JICA) dan The National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS). Anas diundang memaparkan berbagai program yang berhasil dikembangkan dalam mengakselerasi pembangunan di daerah non-kota besar seperti Banyuwangi.
“Ini kehormatan tersendiri, dan saya manfaatkan membangun jejaring antara Banyuwangi dan publik global. Networking ini penting biar kita makin maju,” cerita bupati muda ini. Di forum itu, Anas menjadi satu-satunya pembicara dari Indonesia. Pembicara lain adalah pemimpin daerah dari Filipina, Jepang, Thailand, dan Vietnam.
Anas melanjutkan, JICA dan GRIPS mengundang Banyuwangi karena menilai kabupaten ini mampu melakukan percepatan pelayanan dan pembangunan daerah, meski sebelumnya mempunyai banyak tantangan, terutama keterbatasan SDM dan infrastruktur. Tantangan yang dihadapi Banyuwangi berbeda dengan kota besar yang sudah jauh lebih mapan sebelumnya.
“Kita punya banyak keterbatasan, tapi tidak boleh pasrah. Pokoknya harus gerak, melakukan hal-hal yang bisa dilakukan. Mulai pelayanan publik, tata kelola desa, pertanian, pariwisata, dan sebagainya. Sehingga Banyuwangi terus berkembang saat ini, tentu harus diakui masih banyak kekurangan,” kata bupati berusia 43 tahun itu.
Di Tokyo, lanjut Anas, secara khusus dia memaparkan inovasi penguatan desa. Misalnya, program “Smart Kampung” yang mendorong pelayanan desa berbasis teknologi informasi (TI). Sebagai kabupaten terluas di Pulau Jawa, jarak desa dan pusat kota di Banyuwangi sangat jauh dengan waktu tempuh bisa mencapai tiga jam. Warga yang butuh dokumen harus menuju ke kantor kecamatan atau pusat kota yang lokasinya cukup jauh, sehingga tidak efisien.
“Dengan Smart Kampung, secara bertahap administrasi cukup diselesaikan di desa. Tapi tentu butuh TI karena yang berjalan adalah datanya, bukan orangnya. Saat ini sebagian desa sudah menerapkan Smart Kampung, termasuk yang jauh dari pusat kota. Sudah sekitar 60 desa teraliri fiber optic, kita targetkan 145 desa tersambung fiber optic pertengahan 2018,” papar Anas.
Untuk menjawab tantangan pengelolaan keuangan desa yang mendapatkan dana besar dari APBN dan APBD, Banyuwangi mengembangkan e-village budgeting dan e-monitoring system. Perencanaan hingga pelaporan di tingkat desa terintegrasi dalam sebuah sistem.
“Misalnya monitoring, setiap proyek terpantau di sistem lengkap dengan titik koordinatnya. Tinggal diklik, keluar gambar proyeknya dari 0 sampai 100 persen. Jadi tidak akan mungkin ada proyek ganda, karena tiap proyek ada titik koordinatnya dan ada gambarnya,” jelas Anas.
Untuk mempercepat pelayanan di tingkat desa, Anas telah mendelegasikan kewenangannya ke desa. Misalnya, pembenahan rumah tidak layak huni. “Dulu itu harus bupati yang tanda tangani suratnya, sehingga rentangnya panjang. Sekarang cukup di tingkat desa,” ujarnya.
Program “Smart Kampung” lainnya adalah “Lahir Procot Pulang Bawa Akte”. Lucu juga nama programnya. Procot itu dalam bahasa lokal berarti seketika. Dalam program ini, setiap bayi yang baru lahir tidak perlu nunggu lama untuk dapat akte kelahiran. Ini baru pertama se-Indonesia, dan kini sudah diadopsi sejumlah kabupaten lain. Pokoknya, tiap bayi yang baru lahir di rumah sakit dan puskesmas yang tersebar di Banyuwangi, bisa cepat dapat akte kelahiran dan tidak perlu ribet. Bahkan, akte kelahirannya langsung dikirim oleh Pak Pos alias petugas kantor pos alias si ortu bayi tidak perlu ke kantor pemerintahan.
“Tapi ini ada syaratnya, yaitu harus sudah disiapkan nama. Pokoknya bayi lahir ada namanya cepat diproses. Sudah ada lebih dari 60.000 bayi yang dapat fasilitas gratis ini sejak diluncurkan 2013 lalu. Tapi kadang-kadang kita terkendala, karena orang tua belum siap namanya. Masih harus nunggu saran kakeknya, neneknya, pakdenya, atau nunggu hari baik, sehingga penerbitan akte kelahirannya tidak bisa segera diproeses,” cerita Anas yang punya hobi berenang.
Bupati Anas kembali menceritakan, forum di Jepang ini juga bagian dari penjajakan Negeri Sakura itu untuk mengetahui lebih dalam tentang berbagai potensi kemitraan yang bisa dijalin dengan berbagai daerah di Asia. ”Jepang selama ini lebih banyak membantu Indonesia soal pembangunan infrastruktur. Nah, mereka ingin mulai membantu penguatan birokrasi. Forum ini digunakan untuk menjajaki itu. Tentu ini kesempatan bagi Banyuwangi jika Jepang bersedia membantu program pengembangan di daerah kami,” papar Anas.
Wah makin ikut bangga dengan Banyuwangi!