Keberadaan beberapa suku di Indonesia memang terkenal memiliki keunikan tersendiri, seperti suku Boti yang mendiami pelosok Kupang. Boti adalah sebutan untuk penduduk asli pulau Timor, Atoni Metu, kabupaten Kie, Nusa Tenggara Timur. Penduduk yang tinggal di desa ini bisa dibilang jauh dari modernitas karena memang lokasi tempat tinggal mereka yang berada di daerah pegunungan.
Diperintah oleh seorang kepala suku yang disebut Raja Nama Benu, suku Boti tetap mempertahankan tradisi lokal dan adat kesukuan walaupun zaman sudah semakin modern. Kira-kira seperti apa ya tradisi lokal yang hingga kini masih dilakukan suku Boti ini? Yuk simak ulasannya berikut.
Alam adalah sumber kehidupan suku Boti
Saat berkunjung ke Kota Kupang dan bertanya tentang suku Boti, penduduk Kupang akan mengernyitkan dahi pertanda suku ini memang kurang dikenal di masyarakat. Karena tertutup dengan modernitas zaman, penduduk suku Boti memanfaatkan alam sebagai sumber kehidupan mereka. Contohnya saja, kain tenun yang sangat terkenal di suku ini dibuat dari kapas yang mereka olah sendiri, serta pewarna kain yang didapat dari lingkungan sekitar. Selain itu, obat-obatan juga mereka oleh sendiri dari berbagai bahan yang ada di alam. Menurut penduduk suku Boti ini, teknologi yang masuk mungkin akan merusak sumber kehidupan mereka.
Adat dalam kehidupan berkeluarga
Tradisi yang diterapkan dalam berkelurga juga terkenal keras. Sistem perkawinan dalam masyarakat Boti adalah monogami, artinya setiap lelaki hanya boleh menikahi satu perempuan. Sistem pendidikan anak juga terbagi menjadi dua, jika sebagian anak sekolah maka sebagian yang lain harus fokus ke tugas lain. Nah, menurut penuturan mereka, hal ini adalah upaya agar tradisi turun temurun nenek moyang mereka tetap hidup dan tidak tergerus zaman yang semakin modern.
Tradisi ‘dipanggang’ selama 40 hari bagi ibu yang baru melahirkan
Bukan hanya tradisi dalam keluarga saja yang keras dan terikat peraturan. Ketika ada seorang ibu yang diambang proses persalinan, mereka hanya akan memanggil dukun beranak untuk membantu kelahiran. Setelah melahirkan pun seorang ibu harus ‘dipanggang’ selama 40 hari. Dipanggang disini maksudnya diletakkan di atas bara api dengan tujuan untuk memulihkan kekuatan si ibu kembali. Bayi yang baru dilahirkan juga diberi uang, dipakaikan kalung, serta dilayani dengan baik agar kelak masa depan si anak juga cerah.
Aliran kepercayaan warisan nenek moyang
Berbicara tentang kepercayaan, suku Boti mempunyai penguasa jagad sendiri yang mereka sebut dengan Uis Pah (Penguasa alam dunia) dan Uis Neno (Peguasa alam baka) yang sudah dipercaya turun temurun selama beratus tahun. Namun begitu, suku yang berpenduduk kurang lebih 415 jiwa ini tetap menjunjung tinggi toleransi beragama. Hal ini dibuktikan dengan perlakuan dan pemberian rasa hormat kepada penduduk sekitar yang beragama Katolik dan Protestan.
Di tengah hiruk pikuk zaman yang kian maju, ternyata masih ada segelintir orang yang tidak peduli akan hal tersebut, seperti suku Boti di atas. Mereka adalah orang yang menjaga kemurnian adat dan istiadatnya, karena mereka yakin bahwa adat yang terjaga akan membawa kesejahteraan bagi rohani mereka. Namun, sah-sah saja sih mengikuti kemajuan zaman, asal jangan sampai kita terjerumus di dalamnya.