Sejak dahulu kala, Indonesia menjadi incaran bangsa lain di dunia karena kekayaan alamnya yang luar biasa melimpah. Minyak, hutan, isi laut, rempah-rempah dan bahan tambang, merupakan deretan harta karun tak ternilai yang ada di dalam perut Nusantara. Salah satu yang paling dikenal adalah Freeport. Perusahaan asing yang mengelola sekaligus mengeruk tambang tersebut.
Keberadaan Freeport di Indonesia, kerap menjadi kritik dan perhatian dari pihak tertentu. Oleh mereka, perusahaan asal AS tersebut dinilai hanya mengambil keuntungan semata. Sementara rakyat Papua dan Indonesia sebagai pemilik sah, hanya menjadi penonton belaka. Keberadaan Feeport dan sepak terjangnya di Indonesia, sangat menarik untuk ditelusuri.
Sejarah ditemukannya tambang di Papua
Adalah Antonie Hendrikus Colijn, Jean Jacques Dozy dan Frits Julius Wissel yang merupakan seorang penjelajah, memulai ekspedisi mereka pada 1936. Tidak hanya sekedar mendaki pegunungan tengah Papua yang bernama Cartenz Pyramid, mereka juga berhasil menemukan tumpukan tanah yang mengandung tembaga. Dozy yang seorang ahli geologi, segera mencatat dan mempubikasikan penemuannya itu.
Antara Soekarno dan ambisi Feeport kuasai tambang
Tak lama setelahnya, Wilson membawa contoh bantuan yang diyakini mempunyai kandungan tertentu. Oleh para analis Freeport, barang tambang yang ada tersebut memang betul adanya. Kesimpulan mereka bahkan meyakini jika area itu dikelola dengan baik, modal awal yang dikeluarkan akan kembali dalam waktu tiga tahun saja. Saat itulah, Feeport mulai menancapkan kukunya untuk menguasai tambang Papua.
The Smiling General dan pesta pora Freeport
Ditetapkan pada 12 Maret 1967, Presiden Soeharto yang juga dijuluki The Smiling General ini, membuka jalan bagi Freeport untuk menguasai tambang Papua. Semua itu terjadi berkat disahkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 (UU No.1/1967) tentang Penanaman Modal. Soeharto pun memberikan kontrak karya kepada Freeport selama 30 tahun untuk mengelola tambang.
Amerika kenyang, nyawa rakyat Papua banyak yang melayang
Pada awalnya, Freeport hanya diizinkan menambang di wilayah seluas 10 ribu hektare. Namun, rezim Orba pimpinan Soeharto memberi izin perluasan hingga 2,5 juta hektare pada 1989, lewat kontrak baru. Di saat bersamaan, Freeport juga menemukan cadangan emas. Tak jauh dari lokasi tambang yang ada. Bijih yang dihasilkan, dialirkan melalui pipa sepanjang 115 km ke Amamapare Freeport, tempat kapal-kapal pengangkut menunggu.
Freeport bakal dikuasai kembali oleh Indonesia?
Di era kepemimpinan Presiden Jokowi, pemerintah Indonesia akan memiliki mayoritas saham di PT Freeport Indonesia (PTFI) melalui proses divestasi sebesar 51 persen. PT Inalum (Persero) yang bertindak sebagai wakil, menandatangani Head of Agreement dengan PT Freeport Indonesia. Selain itu, perusahaan yang menjadi induk dari usaha pertambangan tersebut juga harus melakukan pembayaran 3,85 miliar dollar AS atau sekitar Rp 55,44 triliun (kurs Rp 14.400 per dollar AS).
Wacana Freeport yang akan kembali dikuasai oleh Indonesia, tentu menjadi angin segar bagi masyarakat negeri ini dan penduduk Papua. Jika terealisasi, mudah-mudahan kepemimpinan selanjutnya dapat mempertahankan kebijakannya tersebut. Hingga kemiskinan yang terjadi di Papua, hanyalah sebuah cerita masa lalu.