Bahasa Indonesia memang sudah menjadi bahasa resmi negara Indonesia dan menjadi bahasa kesatuan negara kita. Bagaimana tidak, Indonesia terdiri dari kurang lebih 18 ribu pulau yang dihuni oleh 350 kelompok etnis dan berbicara dengan 750 bahasa lokal dan dialek. Maka, diperlukan bahasa yang berfungsi untuk menyatukan penduduk Indonesia.
Namun, sebelum bahasa Indonesia resmi digunakan di Indonesia, masyarakat di nusantara menggunakan bahasa yang berbeda, begitu pula dengan cara penulisannya. Jadi klaim bahwa dulunya orang Indonesia itu buta huruf tentu tidak sepenuhnya benar. Mereka hanya memiliki bahasa dan tulisan yang berbeda dengan yang dikenal para penjajah.
Dari rekaman paling awal yang tercatat, bahasa Melayu adalah bahasa asli yang digunakan oleh kedua sisi daerah yang terpisahkan Selat Malaka yaitu wilayah Sumatra dan semenanjung Melayu. Bahasa Melayu Purba merupakan bahasa awal yang digunakan sebelum pedagang dari India datang ke nusantara. Setelah mendapat pengaruh dari India, maka bahasa yang dipakai kemudian dinamakan menjadi bahasa Melayu Kuno.
Bahasa Melayu Kuno selanjutnya banyak mendapatkan pengaruh dari bahasa Sanskrit karena banyaknya masyarakat yang menganut agama Hindu. Bahasa Sanskrit sendiri sebenarnya juga sudah digunakan namun oleh kalangan bangsawan dan mereka yang memiliki hierarki tinggi dalam masyarakat. Pengaruh Hindu dalam bahasa ini akhirnya juga membentuk sistem huruf atau penulisan menggunakan huruf Pallawa atau Dewanagari yang berasal dari India, serta huruf Kawi yang merupakan modifikasi huruf Pallawa.
Selanjutnya, bahasa Melayu Kuno beralih menjadi bahasa Melayu Klasik. Peralihan ini terjadi karena semakin kuatnya pengaruh agama Islam di Asia Tenggara pada abad ke-13. Bahasa ini kemudian digunakan oleh Kesultanan Melaka, Kesultanan Aceh, dan beberapa tokoh politik lainnya sejak abad ke-14 hingga abad ke-18.
Tiga prasasti penting yang menjadi bukti transisi menjadi Melayu Klasik adalah prasasti Pagar Ruyung di Minangkabau (1356), Prasasti Minyetujoh di Aceh (1380), dan Prasasti Kuala Berang di Trengganu, Malaysia (1303-1387). Prasasti Pagar Ruyun ditulis dalam huruf India dengan prosa Melayu Kuno dan beberapa baris sajak Sanskerta. Namun, bahasa yang digunakan sedikit berbeda dengan bahasa Melayu pada abad ke-7. Prasasti Minyetujoh merupakan prasasti pertama yang mencatat penggunaan kata-kata Arab seperti “Allah”, “nabi”, dan “rahmat”. Selanjutnya prasasti Kuala Berang, ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu yang membuktikan bahwa tulisan Arab sudah digunakan dalam bahasa Melayu.
Di Indonesia, bahasa Melayu kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa pergaulan atau bahasa sehari-hari. Meski begitu, di awal pemakaiannya, belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu karena bahasa daerah dengan jumlah yang begitu banyak masih menjadi bahasa utama yang digunakan sehari-hari.
Van Ophuijsen adalah seorang pria Belanda yang menyusun ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan Hindia-Belanda. Ia juga yang menjadi penyuting buku terbitan Balai Pustaka. Sehingga akhirnya bahasa yang digunakan menjadi lekat dengan identitas kebangsaan Indonesia dan puncaknya pada Sumpah Pemuda.
Selanjutnya, bahasa Melayu Riau dijadikan sebagai bahasa persatuan dengan beberapa pertimbangan yakni Bahasa Jawa lebih sulit dipelajari daripada bahasa Melayu karena ada tingkatan bahasa yang mengharuskan si pembicara memahami budaya Jawa agar bisa menyampaikan kalimat dengan baik dan sopan. Bahasa Melayu Riau dipilih karena paling sedikit terpengaruh bahasa lain seperti Cina Hokkien ataupun Tio Ciu Ke.
Ejaan Republik atau edjaan Soewandi digunakan untuk menentukan ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak 17 Maret 1947. Ejaan ini digunakan untuk mengganti ejaan yang sebelumnya yaitu Ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sejak tahun 1901.
Ejaan Baru dipergunakan sejak tahun 1967 sebelum kemudian disempurnakan dengan munculnya EYD pada tahun 1972. Perubahan yang terdapat pada Ejaan LBK antara lain ‘tj’ menjadi ‘c’ (tjutji ke cuci), ‘dj’ menjadi ‘j’ (djarak ke jarak), ‘j’ menjadi ‘y’ (sajang ke sayang), ‘nj’ menjadi ‘ny’ (njamuk ke nyamuk), ‘sj’ menjadi ‘sy’ (sjarat ke syarat), ‘ch’ menjadi ‘kh’ (achir ke akhir).
Selain itu, EYD juga mengatur penulisan huruf termasuk kapital dan miring, penulisan kata, tanda baca, singkatan dan akronim, angka dan lambang bilangan, serta unsur serapan.
Nah, itulah tadi sejarah tentang perkembangan bahasa Indonesia sejak awal jaman kerajaan. Jadi, sekarang kita sudah tahu bagaimana sebenarnya bangsa Indonesia bisa menggunakan bahasa Indonesia seperti sekarang ini.
Fenomena viral Arra, bocah lima tahun yang dikenal karena kepandaiannya berbicara dengan gaya dewasa, kembali…
Nama Fedi Nuril akhir-akhir ini kembali dikenal publik. Bukan karena kembali membintangi film dengan tokoh…
Kamis (20/3/2025) pukul 03.00 WIB, saat asyik scrolling media sosial X sambil sahur, mata tertambat…
Dunia aviasi Indonesia bakal semakin berwarna dengan kehadiran burung-burung besi baru. Indonesia Airlines, sebuah perusahaan…
Lagi-lagi rakyat Indonesia dibikin geleng-geleng kepala oleh ulah aparat penegak hukum. Kali ini kasusnya sedang…
Baru-baru ini, dunia hiburan Korea Selatan diguncang oleh skandal yang melibatkan aktor papan atas, Kim…