Baru-baru ini, Indonesia dikejutkan dengan berita seorang ibu di Medan yang bernama Meiliana, dikenai vonis penjara 18 bulan dari Pengadilan Tinggi Sumatera Utara pada 22 Agustus lalu. Perkara bermula saat dirinya meminta pegurus masjid di sekitar tempat tinggalnya agar sedikit mengecilkan volume saat adzan berkumandang.
Sontak, hal tersebut ternyata memicu kemarahan warga yang berujung pada aksi pembakaran serta pengrusakan vihara dan klenteng di Tanjung Balai. Meiliana juga divonis oleh MUI Sumatera Utara telah melakukan penistaan agama. Soal keras atau tidaknya volume suara saat adzan, beberapa negeri muslim dunia ternyata memiliki aturan khusus untuk hal tersebut. Tapi, bagaimana dengan Indonesia?
Kebijakan luar ruangan Arab Saudi
Di negeri kaya minyak itu, pemerintah Arab Saudi melarang dengan tegas penggunaan pengeras suara di luar ruangan oleh masjid-masjid. Namun, izin diberikan hanya untuk momen-momen tertentu seperti azan, salat Jumat, salat Idul Fitri dan Idul Adha, serta salat minta hujan. Dilansir dari Arab News, pengurus masjid dihimbau agar mencabut toa (speaker) dari menara-menaranya. Hal ini menyusul adanya keluhan dari warga setempat yang menganggap volume suara adzan terlalu nyaring.
Mesir hormati kaum lansia dan pasien rumah sakit
Senada dengan Arab Saudi, Mesir pun membatasi penggunaan speaker yang berlebihan di masjid-masjid. Negeri piramid itu membuat kebijakan hanya membolehkan pengeras suara dinyalakan hanya saat menjelang adzan. Selain itu, dilarang sama sekali. Aturan pemerintah Mesir ini didukung oleh Universitas al-Azhar, di mana pengeras suara yang dilakukan tidak pada tempatnya, dapat mengganggu pasien rumah sakit dan manula dan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Nigeria yang tak pandang bulu
Dilansir dari tirto.id, negeri di Afrika ini bukan hanya melarang volume suara dari masjid saja. Pihak berwenang di Kota Lagos bahkan mengancam akan menutup 70 gereja, 10 hotel, pub dan kelab malam yang dianggap menimbulkan polusi suara. Sebanyak 20 masjid juga bakal terancam ditutup jika masih menggunakan pengeras suara. Mereka beraggapamn, suara nyanyian dari gereja dan adzan pada masjid, tak sejalan dengan upaya kota Lagos untuk bebas dari kebisingan pada 2020.
Limit suara Uni Emirat Arab
lain halnya dengan negara teluk lain, Uni Emirat Arab malah tidak mengeluarkan aturan khusus mengenai penggunaan pengeras suara di masjid. Pemerintah setempat hanya membatasi ambang batas suara agar tidak melewati 85 desibel. Hal ini diberlakukan agar tak mengganggu aktivitas di pemukiman warga. Selain itu, pihak berwenang Uni Emirat Arab juga mendorong penduduk agar menyampaikan keluhannya, terkait dengan suara adzan jika dianggap terlalu keras.
Menepis ujaran kebencian di Pakistan
Dilansir dari tirto.id, masjid di negara tersebut membatasi penggunaan speakernya. Terutama di wilayah perkotaan di Punjab dan Lahore. Suara keras dihentikan hanya pada saat imam mulai berceramah saja. Bukan tanpa sebab, penggunaan suara yang nyaring mulai dihentikan karena maraknya ujaran kebencian yang sering dilontarkan terhadap agama minoritas di wilayah tersebut.
Kurangnya aturan di Indonesia
Di Indonesia sendiri, Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama, mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushola pada 1978. Aturan tersebut hanya memuat pedoman dasar dalam menggunakan pengeras suara. Sayang, hal itu tak dibarengi dengan adanya mekanisme sanksi yang jelas bagi masjid jika melanggar. Alhasil, jika ada warga yang merasa terganggu, yang bisa dilakukan hanyalah dengan pembicaraan dan pendekatan secara kekeluargaan.
Sejatinya, adzan memang diperlukan bagi umat muslim yang menandakan bahwa waktu shalat telah tiba. Hanya saya, diperlukan aturan-aturan secara khusus dan spesifik agar bisa menjembatani antara umat Islam dan non-muslim agar saling memahami kebutuhan masing-masing. Pada titik inilah, keterlibatan pemerintah dan dengan didukung oleh masyarakat umum sangat diperlukan.