Selain sebagai negara maritim, Indonesia juga dikenal sebagai wilayah agraria yang sangat subur. Terutama untuk mengembangkan varietas tumbuhan seperti kelapa sawit. Baru-baru ini, Indonesia tengah dilanda ketegangan dengan Uni Eropa terkait dengan tanaman tersebut. Dilansir dari tirto.id, Pemerintah RI memastikan akan melawan Uni Eropa yang dinilai melakukan diskriminasi terhadap produk kelapa sawit dan turunannya.
Sebagai tanaman yang banyak dikembangkan di Indonesia, sawit termasuk komoditas yang menguntungkan bagi negara lantaran telah menghasilkan banyak produk. Salah satunya adalah biofuel. Dikhawatirkan, gonjang-ganjing antara Indonesia dengan Uni Eropa soal produk sawit dan turunannya ini, bisa memicu hal negatif yang sejatinya tidak perlu terjadi.
Laman bisnis.tempo.co menuliskan, pemerintah Indonesia akan melakukan tindakan tegas terhadap produk-produk Eropa jika UE benar-benar melanjutkan rencana penghapusan minyak kelapa sawit sebagai biofuel. Sebelumnya, negara benua biru itu sempat menyusun draf yang berjudul “Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Direcyive II (RED II)” dan diajukan pada 13 Maret 2019.
Salah satu isinya adalah, minyak sawit (CPO) produksi Indonesia diklasifikasikan sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi terhadap lingkungan. Oleh pemerintah RI, pembatasan ini dinilai sebagai bentuk diskriminasi terhadap produk kelapa sawit dan turunannya. Selain melawan dengan cara ‘mengancam’ akan melakukan penghentian impor terhadap barang-barang asal Uni Eropa, Indonesia juga membawa masalah ini ke organisasi perdagangan dunia (World Trade Organisation/WTO).
Soal ancaman penghentian impor, Indonesia menyasar produk-produk buatan Uni Eropa agar dilarang masuk ke dalam negeri, salah satunya pesawat. Seperti penuturan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan yang dikutip dari bisnis.tempo.co mengatakan, Asosiasi Transportasi Udara Internasional memproyeksikan bahwa sektor penerbangan Indonesia akan naik tiga kali lipat pada 2034 mencapai 270 juta penumpang per tahun.
Itu artinya, Indonesia membutuhkan sekitar 2.500 pesawat dalam berbagai bentuk model dalam kurun waktu 20 tahun ke depan dengan nilai US$40 miliar. Di mana Uni Eropa bisa menciptakan sekitar 250 juta lapangan pekerjaan di wilayahnya hingga Amerika. Jika produk sawit Indonesia dan turunannya benar dilarang, ancaman di atas bakal membuat Uni Eropa menderita kerugian besar di sektor bisnis pesawat terbang.
Dilansir dari cnnindonesia.com, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Guerend ikut menilai, pemboikotan produk Eropa hanya akan merugikan seluruh pihak terkait dengan rencana pelarangan sawit produksi RI tersebut. Jika Eropa bakal diancam dari sektor pesawat, hal negatif lainnya juga bisa menimpa masyarakat Indonesia yang ekonominya bergantung dari sawit.
Masih dari cnnindonesia.com, industri kelapa sawit dalam negeri mampu menyerap 19,5 juta tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung, termasuk di dalamnya 4 juta petani kecil. Selain itu, nilai ekspornya mencapai US$17,89 miliar dan berkontribusi sekitar 3,5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Tentu saja, hal ini bisa berdampak negatif bagi Indonesia, terutama rakyat di dalamnya jika sampai Uni Eropa melarang sawit masuk ke negaranya.
BACA JUGA: Miris 7 Barang Impor ini Seharusnya Bisa Dihasilkan Sendiri Oleh Indonesia
Menurut hemat penulis, pemerintah tidak perlu melakukan ‘ancaman’ dengan memboikot produk buatan Uni Eropa ke Indonesia. Selain bisa merusak hubungan bilateral kedua negara, hasil produksi sawit dalam negeri bisa dialihkan ke pasar negara lain yang membutuhkan. Selain itu, Indonesia juga bisa mengembangkan produk turunan dari kelapa sawit yang juga memiliki peluang bagus di masa depan.