Entah sudah jadi tradisi atau apa, tawuran selalu ditemui di kalangan anak muda, bahkan dari dulu. Mungkin sih ya, sekolah Suzuran sudah kiblat panutan, jadinya, “No Tawuran, no life”. Pun demikian dengan alasan terjadinya perkelahian kelompok itu sepele, ada yang karena senggol-senggolan lah, masalah pacar lah, berebut jadi ranger merahl ah, hingga nyerobot antrian cireng di abang-abang depan sekolah.
Berbagai upaya pun telah dilakukan, mulai dari melakukan sosialisasi, pendidikan moral, dan lain-lain. Namun tetap, hasilnya masih kurang alias tawuran tetap ditemui di sekolah-sekolah. Ibarat menasehati orang Indonesia agar tak makan mie instan ditambah nasi, percuma alias seperti bau kentut yang berlalu begitu saja.
Bicara soal tawuran, beberapa waktu yang lalu ada yang tak kalah menggegerkan. Tepatnya di Purwakarta, beberapa murid dari SDN 1 Sindangkasih mencoba menyerang SD tetangga sebelah. Bermodal celurit, gear sepeda, dan golok, mereka datang ke SD tetangga dengan satu tujuan. Ya, Veni, Vidi, Vici, saya datang, saya bawa parang, nyawa kamu yang melayang.
Jangan kaget kalau dengar alasan terjadinya tawuran, hanya karena SD tetangga saat lewat tidak pamitan. Gak tahu harus bilang apa, kencing saja belum lurus namun tawuran sudah jadi cemilannya. Duh nak, gitu saja sudah pantat kebakar, belum tahu rasanya hati tersakiti lantaran menanti dirinya yang tak pasti. Beruntung sih, warga dan polisi segera sigap sehingga kejadian tawuran tidak sampai dilakukan.
Melihat kelakuan para bocah ingusan itu, kadang saya terpikir bagaimana kalau anak-anak yang tawuran diwajibkan untuk ikut bela negara saja. Apalagi melihat semangat mereka yang mengebu-gebu sudah kayak para pengantin muda, meskipun disalurkan ke jalan yang salah. Betapa tentramnya negeri ini nanti, makin banyak orang yang siap membantu TNI saat memang dibutuhkan.
Tentu sebelumnya mereka juga harus merasakan dihujani peluru, latihan fisik dan segala kegiatan yang ditujukan untuk lebih cinta jadi tanah air. Tapi gak papa, mengingat waktu tawuran saja mereka berani bawa senjata tajam, berarti menganggap nyawanya ada lima. Syukur-syukur pulang langsung punya cita-cita jadi tentara, kalau tidak ya bikin boyband kayak oppa-oppa di Korea. Mending toh ketimbang tawuran yang tidak bermanfaat.
Namun kembali lagi hal itu adalah opsi terakhir jika memang segala upaya gagal dilakukan. Tentu nasib para generasi bangsa ini sejatinya ada di tangan kita bersama. Kita tak mungkin menyalahkan mereka secara sepihak, mengingat para anak muda itu sedang dalam proses pencarian jati diri, kita dulu juga mengalaminya, bukan? Naruto saja yang super bandel bisa jadi Hokage, mungkin ada kesempatan yang sama buat mereka. Oleh sebab itu mari sama-sama merangkul generasi muda pada jalan yang benar, yakni jalan ninja.