Kalau kita mendengar kata perang, yang terbayang adalah pertumpahan darah dan porak poranda yang dilakukan secara membabi-buta. Tapi tahukah kalau di daerah tertentu, perang tak terjadi begitu saja. Ada tradisi dan ritual yang harus diikuti. Seperti apa yang dilakukan oleh suku Dayak. Di Dayak, ada sebuah tradisi bernama Mangkok Merah. Apa itu?
Secara umum, Mangkok Merah ini punya fungsi sebagai alat komunikasi antar sesama rumpun Dayak dan juga jadi media untuk berhubungan dengan roh nenek moyang. Tapi, tak hanya itu, Mangkok Merah juga punya kekuatan untuk mengajak semua orang Dayak terlibat dalam peperangan. Benda ini keluar kalau akan terjadi hal-hal besar yang menakutkan. Makanya, benda ini jadi penanda terjadinya hal-hal buruk.
Mulanya Adat Ini Bernama Mangkok Jaranang
Pernah dengar jaranang? Jaranang merupakan sejenis tanaman akar yang memiliki getah warna merah. Getah ini biasanya digunakan sebagai pewarna saat masyarakat Dayak belum mengenal cat. Tradisi Mangkok Merah dulunya bernama Mangkok Jaranang. Warna merah yang didapatkan adalah dari akar Jaranang dan cara pemakaiannya dioleskan di bagian dalam wadah mangkoknya.
Penggunaan Mangkok Merah tak bisa sembarangan. Ada konsekuensi serius yang harus ditanggung bila Mangkok Merah sudah digunakan. Sebab korban jiwa dalam jumlah besar dipastikan akan berjatuhan jika tradisi Mangkok Merah dijalankan.
Mangkok Merah Digunakan untuk Mengerahkan Massa Secara Adat Atas Suatu Kasus
Tradisi Mangkok Merah baru akan dilakukan bila ada kasus tertentu yang tak bisa diselesaikan dengan cara damai. Kasus-kasusnya bisa meliputi kasus pelecehan seksual atau pembunuhan. Apabila pihak pelaku atau yang bersalah tak mau menyelesaikan secara adat, maka pihak ahli waris korban bisa melakukan akis balas dendam. Aksi balas dendam ini melibatkan Mangkok Merah yang bisa mengerahkan massa secara adat.
Dalam kasus pembunuhan misalnya, jika dalam kurun waktu 24 jam tak ada titik terang adanya upaya damai atau penyelesaian sesuai adat, maka pihak ahli waris korban bisa melakukan upaya pembalasan. Pihak yang terlibat dalam upaya pembalasan hanya boleh dari para ahli waris korban, jadi bukan sembarang orang. Sementara itu, pelaku yang dianggap sudah menentang adat sudah diberi label dirinya layak dihajar seperti binatang yang tak beradat.
Adat Mangkok Merah Bersifat Memaksa
Menurut adat istiadat Suku Dayak, peperangan wajib melibatkan ritual tertentu. Dalam adat Mangkok Merah, prosesinya meliputi musyawarah sampai pemberangkatan bala yang dilaksanakan secara relijius. Jadi sangat sakral sekali. Selain itu, adat Mangkok Merah juga bersifat memaksa atau mengikat. Maksudnya pihak ahli waris yang dituju atau yang sudah menerima berita mangkok merah wajib ikut. Bagaimana kalau menolak ikut? Maka mereka akan dicap tak punya malu atau pengecut.
Panglima Adat akan menyiapkan beberapa perangkat dan perlengkapan penting dalam ritual upacara memanggil roh dewa. Selain mangkuk yang dasarnya diolesi getah jaranang, dibutuhkan juga bulu atau sayap ayam, daun rumbia, longkot api, tali simpul, dan umbi jerangau merah. Masing-masing perangkat tersebut memiliki makna dan arti sendiri.
Mangkok Merah kemudian akan dibawa oleh Panglima Adat ke tempat suci yang dianggap keramat pada saat senja. Panglima Adat akan meminta petunjuk dari dewa. Saat Panglima Adat mendapat jawaban, tubuhnya akan kerasukan roh dewa kemudian pulang ke desanya sambil meneriakkan kata-kata magis tertentu. Ia kemudian akan menularkan roh dewa kepada penduduk yang sudah mengerti dan berkumpul, lalu diutuslah kurir untuk mengantarkan mangkok merah ke desa lain. Kurir yang ditunjuk punya tugas untuk menyampaikan berita mengenai maksud dan tujuan mangkok merah, siapa saja yang harus ditemui (atau para ahli waris), waktu berkumpul, lokasi untuk berkumpul, dan seterusnya.
Ritual Mangkok Merah Terjadi dalam Konflik Sampit
Masih ingat dengan konflik yang terjadi antara beberapa tahun lalu yang melibatkan Etnis Dayak dan Suku Madura? Dalam konflik yang terjadi di Kota Sampit sepanjang tahun 2001 lalu juga melibatkan ritual Mangkok Merah.
Ada klaim yang menyebutkan bahwa insiden tersebut terjadi karena serangan pembakaran sebuah rumah Dayak yang menurut rumor disebabkan oleh warga Madura. Selain Konflik Sampit, ada dua peristiwa besar lain yang melibatkan ritual Mangkok Merah, yaitu Perang Dayak Desa dan Peristiwa PARAKU/PGRS.
Eksistensi Mangkok Merah sekarang masih sama seperti dulu. Tetap tinggi nilainya serta keramat kharismanya. Penggunaannya pun tetap sama yakni jika terjadi masalah-masalah yang tak bisa diselesaikan dengan jalan adat. Terlepas dari hal menakutkan yang terjadi ketika Mangkok Merah keluar, hal tersebut jadi bukti kalau suku Dayak masih begitu menjaga tradisinya. Ini adalah sesuatu yang patut kita jadikan contoh.