Dinamika di pemilihan gubernur dan wakil gubernur Ibukota Jakarta memang cukup tinggi. Terlebih setelah mencuatnya kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan petahana Basuki Tjahaja Purnama atau biasa karib dipanggil Ahok.
Penyebutan surat Al Maidah, dalam sebuah pidato di Kepulauan Seribu, memicu gelombang demontrasi besar-besaran di ibukota Jakarta. Sebelum kasus dugaan penistaan agama muncul, memang Ahok sudah beberapa kali di demo. Salah satu kelompok yang getol mendemo Ahok adalah Front Pembela Islam (FPI). Organisasi kemasyarakatan pimpinan Habib Rizieq ini memang terang-terangan bersebrangan dengan Ahok. Bahkan menolak Ahok jadi gubernur lagi. Sampai kemudian muncul gubernur tandingan, yakni Fahrurozi yang didapuk jadi gubernur Jakarta versi kelompok anti Ahok. Meski kemudian tak jelas nasib sang gubernur tandingan tersebut.
Pada, 4 November 2016, demontrasi besar-besaran melanda ibukota. Ratusan ribu orang ikut serta dalam aksi unjuk rasa yang dikonsentrasilkan di depan Istana Negara tersebut. Salah satu tuntutannya adalah meminta kepolisian segera menahan Ahok yang dituding telah menista agama Islam lewat pidato penyebutan Al Maidah di Kepulauan Seribu.
Ahok pun kemudian oleh kepolisian ditetapkan jadi tersangka. Namun seperti tak puas, para penentang Ahok kembali menggelar demonstrasi lagi pada hari Jumat 2 Desember 2016 atau dikenal dengan aksi 212. Demo bertajuk Bela Islam Jilid III itu dihadiri ratusan ribu orang yang tumpah ruah di sekitar Istana Negara dan Monumen Nasional. Bahkan ada yang menyebut jumlah massa yang hadir mencapai 1 juta orang. Massa tumplek hingga ke jalan-jalan. Lalu lintas sekitar Monas dan Jalan Thamrin, lumpuh total ketika itu.
Aksi itu, dibarengi dengan solat Jumat bersama. Walau hujan turun, massa tak bergerat surut. Justru kian menyesak. Presiden Jokowi dalam aksi kali ini langsung mendatangi kerumunan massa. Bahkan ikut solat Jumat bareng, di tengah derasnya hujan.
Nah, dibalik aksi tersebut ada kisah menarik yang diceritakan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo. Sebagai menteri, Tjahjo tentu ikut bertanggungjawab memantau aksi yang berlangsung agar tak menimbulkan tindakan anarkis. Ia pun sempat berkeliling hanya ditemani ajudannya. Sampai kemudian tiba waktunya solat Jumat.
Karena tak mungkin ia solat Jumat di kantor Kementerian Dalam Negeri yang sudah sesak dengan massa, ia pun memutuskan singgah di sebuah mesjid di sekitaran Jakarta Pusat. Saat ia masuk mesjid, para jemaah yang rata-rata adalah peserta aksi tampak kaget melihat ada menteri datang ke mesjid. Mereka pun saling kasak-kusuk.
Tapi Tjahjo santai saja, bahkan kemudian antara dia dan para jemaah saling bersalaman. Tidak hanya itu, banyak yang meminta foto bareng dengannya. Dengan sabar, ia pun melayaninya. Saat acara foto bareng itu, terdengar celetukan-celetukan yang ditujukan kepadanya.
” Wah kayaknya Pak Menteri datang untuk nginteli kita,” begitu satu celetukan yang didengar Tjahjo. Tjahjo hanya tersenyum mendengar celetukan itu. Bahkan ada satu jamaah yang dengan terus terang menanyakan itu. Menanyakan, apakah kedatangan dia ke mesjid memang benar untuk menginteli aksi 212. Kepada jemaah ia menerangkan, ia datang untuk solat Jumat bareng, tak ada maksud untuk nginteli para jemaah. Ia singgah di mesjid itu, karena tak mungkin ia solat Jumat di mesjid Kemendagri.
Para jemaah pun, akhirnya mengerti. Selepas solat Jumat, ia menyempatkan bertegur sapa dengan para jamaah. Dengan ramah, para jemaah pun bercengkrama dengannya. Tidak ada lagi kecurigaan, menuding ia sedang nginteli jamaah.
“Itulah pengalaman menarik saya saat aksi 212 terjadi,” kata Tjahjo.