Mungkin tak banyak yang tahu siapa sosok Letnan Jenderal M Jasin. Orang sepertinya lebih mengenal Komisaris Jenderal M Jasin yang dikenal sebagai bapak Brigade Mobil (Brimob), salah satu kesatuan elit di kepolisian.
Letnan Jenderal (Letjen) M Jasin, lahir di Sabang, Aceh. Ia awalnya seorang guru. Tapi, saat revolusi fisik kemerdekaan, Jasin masuk PETA. Dari PETA itulah, Jasin bermetamorfosis dari seorang guru jadi seorang tentara. Meski begitu, karakternya sebagai guru tak hilang. Sebab saat di militer, Jasin pernah jadi pengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD). Saat ini, sekolah militer tersebut bernama Seskoad.
Panglima yang Meredam Pergolakan Aceh Tanpa Gencatan Senjata
Berbagai posisi di militer pernah diemban Jasin. Jenderal asal Aceh itu, pernah jadi Panglima Brawijaya. Sebelumnya, Jasin juga pernah bertugas di Aceh. Ia dikirim untuk menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda ke-2. Jasin menjabat sebagai Panglima Kodam di Bumi Serambi Mekah dari tanggal 10 September 1960 sampai 1 Oktober 1963.
Saat itu, Aceh sudah bergolak. Mantan Gubernur militer Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh, masuk hutan ‘melawan’ pemerintah pusat. Beureueh merasa kecewa dengan berbagai kebijakan pusat terhadap Aceh. Sang gubernur merasa, banyak janji pemerintah pusat kepada rakyat Aceh tak ditepati. Ia pun angkat senjata.
Jasinlah yang kemudian berhasil membujuk Beureueh turun gunung dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Kisah turun gunungnya Daud Beureueh terjadi dengan dramatis. Jasin, berhasil membujuk sang gubernur militer itu tanpa satu pun peluru meletus. Ia sukses mengajak Beureueh dengan cara damai.
Usai bertugas di Aceh, Jasin ditarik ke Jawa Timur. Ia diangkat jadi Panglima Brawijaya. Selesai jadi Panglima di Jawa Timur, Jasin kembali ditarik ke Jakarta. Jabatan terakhirnya di TNI, adalah Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad). Jasin jadi Wakasad pada 1970.
Nah, ada sebuah kisah menarik tentang Jasin dan Soeharto. Kisah yang menjadi awal ‘permusuhan’ dua jenderal tersebut. Ceritanya bermula saat Indonesia akan menggelar pemilihan umum tahun 1971.
Saat itu, Jasin sedang menjabat sebagai Wakasad. Ketika itu Jasin punya gagasan pengadaan truk yang akan digunakan para tentara untuk keperluan mendukung pemilu. Jasin pun kemudian menyampaikan gagasan tersebut kepada Jenderal Maraden Panggabean yang ketika itu menjadi Panglima ABRI.
Gayung pun bersambut, Jenderal Panggabean mendukung gagasan Jasin soal pengadaan truk. Jasin juga mengutarakan, gagasannya itu akan ia sampaikan juga ke Soeharto. Dan ia akan sampaikan sendiri ke penguasa Orde Baru tersebut. Panggabean menyetujuinya.
Kekecewaan Jasin Pada Soeharto
Saat itu, hubungan Jasin dengan Soeharto belum ada masalah. Bahkan bisa dikatakan dekat. Jasin sering diajak Soeharto untuk main golf. Jasin memang piawai mengayunkan stick. Ketika main golf itulah, Jasin menyampaikan gagasannya. Soeharto mendukungnya. Bahkan Soeharto menyatakan akan menyediakan anggarannya dari negara. Tentu mendengar itu Jasin senang.
Setelah itu, Jasin menemui Ir Hartojo, Dirjen Perhubungan Darat. Dalam pembicaraannya dengan sang Dirjen, Jasin mengusulkan agar truk yang hendak dibeli itu adalah truk dengan bobot 3 ton, bukan truk dengan berat 5 ton. Alasannya, truk-truk itu akan disebar di kabupaten-kabupaten. Jika truk 5 ton yang dibeli, jalan-jalan di kabupaten tak mendukungnya. Jalan bisa cepat rusak. Hartojo, Dirjen Perhubungan Darat pun setuju dengan usulan Jasin.
Sampai suatu ketika, Jasin dipanggil Soeharto ke Cendana. Jasin pun datang. Di Cendana, Soeharto menanyakan kenapa truk yang akan dibeli harus yang berbobot 3 ton. Ditanya seperti itu, Jasin pun kemudian membeberkan alasannya. Ternyata Soeharto tak setuju. Kata Soeharto, truk yang akan dibeli bobotnya 5 ton. Tapi Jasin ngotot. Karena tak ada titik temu, Soeharto pun marah.
Kata Soeharto bila Jasin tetap ‘keukeuh’, pembelian truk akan dibatalkan. Mendengar itu, Jasin mendidih, tapi ia coba menahan diri. Ia pun segera pamit pulang dari Cendana, sambil membawa kekecewaan.
Jasin merasa ada ‘kongkalikong’ antara penguasa dengan pihak Toyota yang akan ditunjuk sebagai penyedia truk. Padahal menurut Jasin, pihak Toyota di Indonesia bisa saja meminta induknya di Jepang mengirim truk dengan bobot 3 ton. Saat itu truk buatan Toyota yang dijual di Indonesia bobotnya 5 ton. Ternyata menurut Jasin, pihak Toyota tak mau menyediakan truk 3 ton, karena ingin menghabiskan dulu truk 5 tonnya.
Jasin Tak Pernah Berdamai Dengan Soeharto
Sejak saat itulah, kata Jasin, hubungannya dengan Soeharto memburuk. Ia kemudian dicopot dari jabatannya sebagai Wakasad. Setelah tak jadi Wakasad, Jasin sempat diberi jabatan sebagai Sekjen Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL). Tapi sikap keras Jasin tak berubah.
Ketika jadi Sekjen PUTL, Jasin pernah bersuara keras menentang dikeluarkannya PP No. 6 Tahun 1974 dan PP No. 10 Tahun 1974. Dua peraturan pemerintah itu mengatur tentang larangan pegawai negeri berdagang.
Bagi Jasin, aturan tersebut hanya kosmetik belaka. Sebab faktanya, tetap saja banyak pejabat yang berbisnis, bahkan dengan cara-cara ‘kotor’. Lewat kroni-kroninya para pejabat tetap mencari fulus. Setelah pensiun dari tentara, hubungannya dengan Soeharto tak membaik. Jasin bahkan jadi pengkritik Soeharto garis depan. Salah satu kritikan kerasnya adalah proyek Tapos yang dianggap Jasin tak lebih dari proyek anak-anak Cendana. Karena kritikannya itu, Jasin sempat diperiksa Kejaksaan Agung.
Tapi sikap keras Jasin terhadap Soeharto tak luntur. Tahun 80-an, muncul Petisi 50 yang diinisiasi beberapa tokoh nasional seperti Jenderal AH Nasution, Bung Hatta, Natsir, Ali Sadikin dan lain-lain. Jasin salah satu penanda tangannya. Petisi 50 sendiri merupakan suara keprihatinan para tokoh yang menilai jalannya kekuasaan telah melenceng dari semangat konstitusi.
Sampai Jasin meninggal 7 April 2013, ia tak pernah berbaikan lagi dengan Soeharto. Bahkan dalam sebuah kesempatan, Jasin pernah mengatakan menyesal dulu mendukung Soeharto. Dan semua itu ia tegaskan dalam buku memoarnya. Sub judul di bukunya,”Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto.” Sebuah sub judul yang menegaskan sikap keras Jasin kepada Soeharto.
kok data kelahiran beda
Jasin, pria kelahiran Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara itu adalah pendiri jajaran Brigade Mobil (Brimob) di Polri. Sudah sejak lama keluarga memperjuangkan nama Jasin agar mendapatkan gelar itu.
“Kami senang sekali bisa mendapat gelar pahlawan itu untuk bapak. Kami sudah lama memperjuangkannya agar bapak dapat gelar itu,” ujar perempuan keturunan Belanda tersebut dengan mata berkaca-kaca.
Komjen (Purnawirawan) Dr H. Moehammad Jasin (Jawa Timur). Foto: repro/Natalia Fatimah Laurens/JPNN.com
Putri pertama Jasin itu mengatakan, sebelum menjadi polisi, ayahnya mengikuti pendidikan umum di Volkschool di Baubau, Hollands Inlandsche School (HIS) dan Schakel School di Makassar. Terakhir ia menempuh pendidikan di Meer Utgerbreid Lager Onderwijs (MULO). Jasin lalu menempuh sekolah polisi di Sukabumi, Jawa Barat.