Tahun 2016 segera berlalu. Tahun baru 2017 akan disongsong. Banyak harapan, juga resolusi baru di tahun anyar. Semua ingin kebaikan. Semua ingin kesuksesan. Semua ingin kedamaian.
Namun jangan lupakan jejak di tahun ini. Apa yang terjadi di tahun sebelumnya, jadikan ia sebagai refleksi. Sebagai bahan renungan. Sebagai bahan pelajaran. Sebagai tempat menimba ilmu, agar di tahun anyar apa yang buruk dan gagal tak terulang.
Kamis, 29 Desember 2016, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan catatan akhir tahunnya tentang fakta dan data bencana yang terjadi sepanjang tahun 2016 di Indonesia.
Dalam catatan akhir tahunnya BNPB jiga menyorot soal pentingnya pengarusutamaan budaya sadar bencana. Menurut BNPB pengetahuan masyarakat mengenai bencana mulai tumbuh pascabencana tsunami Aceh 2004 lalu. Dan meningkat signifikan.
Namun BNPB juga menyayangkan pengetahuan tersebut belum menjadi sebuah sikap dan perilaku. Jadi, secara umum budaya sadar bencana di masyarakat masih rendah.
Masyarakat masih sering mengabaikan aspek risiko bencana dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya masih sangat minim kontruksi rumah tahan gempa yang dibangun masyarakat maupun swasta.
BNPB mencontohkan saat terjadi gempa, korban berjatuhan dan dampak ekonominya besar. Misalnya gempa dengan kekuatan 6,5 skala richter di Pidie Jaya sebenarnya termasuk gempa menengah. Tapi korbannya mencapai 103 jiwa meninggal, ratusan orang luka dan lebih dari 11 ribu rumah rusak. Belum lagi kerugian ekonomi yang mencapai Rp 2,94 trilyun. Bandingkan dengan gempa 7,8 skala richter dengan epicentrum di darat di New Zealand. Gempa di sana hanya menimbulkan korban 2 jiwa meninggal dunia.
Menurut BNPB, itu karena pemerintah dan masyarakat New Zealand sangat taat terhadap building code bangunan tahan gempa. Jadi yang sekarang diperlukan adalah mewujudkan budaya sadar bencana. Hal ini sangat penting, mengingat jutaan masyarakat Indonesia terpapar potensi bahaya yang berujung bencana.
Bencana juga secara langsung telah menurunkan kualitas hidup masyarakat. Pada tahun ini saja berbagai bencana telah menyebabkan sekitar 3,05 juta warga mengungsi dan 69.287 rumah rusak. Dari jumlah kejadian bencana tahun ini, 92 persen didominasi bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan puting beliung.
Efek dari situasi ini juga dapat memicu peningkatan angka kemiskinan. Dan faktanya sebagian besar bencana menimpa masyarakat miskin karena banyak melanda daerah-daerah rawan. Akibatnya jumlah angka keluarga miskin meningkat. Karena musibah tersebut mereka gagal panen, kehilangan aset produksi dan terganggunya kehidupan sehari-hari.
Fakta lainnya berdasarkan beberapa penelitian di daerah langganan bencana, menunjukkan bahwa keluarga miskin yang jadi korban, kehidupannya lebih sengsara pasca kejadian. Maka dapat dibayangkan apa yang dialami masyarakat di sekitar Sungai Bengawan Solo yang rata-rata 5 kali banjir setiap tahun atau di Sampang 15 kali setiap tahun.
Tapi, walau bencana banyak mendera, BNPB meminta masyarakat harus tetap optimis dalam penanggulangan bencana tahun depan. Yang penting kesiapsiagaan harus tetap menjadi prioritas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Pada 2017 kemungkinan bencana yang harus diwaspadai adalah bencana hidrometeorologi. Potensinya akan meningkat terutama pada bulan Januari hingga April, kemudian November dan Desember. Antara Juni hingga Oktober juga berpotensi terjadi kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan. Hal lain yang harus diwaspadai sepanjang tahun selalu ada potensi gempa bumi, tsunami dan erupsi gunung api.
Sementara terkait dengan kebakaran hutan dan lahan atau karhulta, tahun depan diprediksikan sebaran lebih kecil dibandingkan 2016. Tapi kewaspadaan pada wilayah-wilayah yang berpotensi ancaman karhulta seperti di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan beberapa di Kalimantan harus tetap dilakukan.