Isu gender, kekerasan terhadap wanita, ketidakadilan, dan hal-hal yang terkait sedang mengguncang Indonesia sepekan belakangan. Kasus-kasus tindakan asusila menjadi pemicu isu ini menyebar hingga akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan: “iyakah pria menjadi makhluk sehina itu” atau “apakah wanita hanya hidup untuk ketidakadilan.”
Isu-isu di atas akhirnya mengerucut dan sebuah kesimpulan sembrono mencuat: kasus asusila dan perlakuan tak baik terhadap wanita terjadi karena ada budaya patriarki di mana pria menjadi lebih dominan. Ok, bisa jadi benar, bisa jadi salah. Sekarang coba dibalik ketika pria berada di lingkungan matriarki, apakah mendapatkan perlakuan yang buruk? Jawabannya akan Anda dapatkan di kebudayaan Matrilineal yang masih bertahan hingga sekarang.
1. Masyarakat Mosuo – Tiongkok
Masyarakat Mosuo hidup di perbatasan antara Tibet dan provinsi Shicuan, Tiongkok. Saat ini, masyarakat Musou berjumlah 40.000 orang dengan menganut matrilineal yang sangat kuat. Di kawasan ini wanita memegang kendali rumah tangga secara penuh. Mereka bekerja dalam banyak hal terutama di bidang peternakan, menganyam, dan menjalankan kegiatan memasak secara keseluruhan. Perang pria dalam masyarakat ini sangat kecil. Biasanya pria Mosuo tidak memiliki pekerjaan dan hanya menyiapkan tenaganya untuk kegiatan “malam” hari.
2. Masyarakat Minangkabau – Indonesia
Indonesia pun masih memiliki salah satu masyarakat matrilineal terbesar di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 4 juta jiwa. Di masyarakat ini, wanita memegang kendali penuh di dalam keluarga. Hal-hal yang bersifat krusial selalu diambil alih oleh wanita meski di era modern tak semua wanita Minangkabau menjadi demikian.
3. Masyarakat Akan – Ghana
Masyarakat Akan sangat dominan di kawasan Ghana, Afrika. Di kawasan ini, segala hal penting terkait rumah tangga dan juga bisnis dikelola oleh wanita secara menyeluruh. Tugas pria adalah sebagai pelindung dan juga pemimpin untuk beberapa hal yang tak bisa dilakukan oleh wanita secara baik.
4. Masyarakat Garo – India
Masyarakat Garo terletak di kawasan utara India yang masih memiliki kekerabatan dengan Tibet dan Myanmar. Orang-orang di kawasan ini biasanya menganggap wanita sebagai inti dari keluarga. Anak gadis (biasanya yang termuda) mendapatkan warisan dan juga kekuatan politik dari ibunya. Saat tidak ada keturunan wanita, warisan akan menjadi rebutan saudara lain hingga tidak memiliki anak perempuan mirip seperti kutukan.
5. Masyarakat Jeju – Korea Selatan
Masyarakat yang tinggal di Pulau Jeju, Korea Selatan masih memegang budaya matrilineal secara kuat. Di kawasan ini, wanita memiliki kekuatan yang sangat kuat dalam hal menghidupi rumah tangga. Wanita muda akan belajar bekerja sebagai haenyeo atau penyelam yang akan mencari hasil laut tanpa alat modern. Biasanya menggunakan tombak atau memunguti dengan tangan langsung.
Inilah lima masyarakat modern yang masih menganut budaya matrilineal. Dari lima contoh di atas kita bisa sedikit membuat kesimpulan bahwa pria dalam kebudayaan matrilineal masih diperlakukan selayaknya manusia. Bahkan dalam beberapa budaya, pria ditugaskan untuk menunggui rumah dan tidak diperkenankan bekerja. Menurut pendapat Sobat Boombastis, kasus-kasus kekerasan pada wanita itu disebabkan patrilineal atau memang moral manusianya yang sudah bobrok?