Saat membaca cerita tentang sejarah, kebanyakan orang pasti sudah tahu bahwa beberapa pahlawan Indonesia sampai harus dibuang gara-gara berani menentang pemerintah. Ada yang berhasil kembali pulang ke tempat asal, tapi ada juga yang hidup sampai akhir hayatnya.
Menjadi orang ‘terbuang’ jelas nggak gampang. Jika ada orang yang mengenal mereka, mungkin hidupnya bisa sedikit lebih baik. Tapi jika tidak, mungkin hidupnya akan lebih mengenaskan, meninggal dalam keadaan sendirian, dan dengan makam yang tak terawat serta terlupakan.
1. Cut Nyak Dhien
Nama Cut Nyak Dhien adalah salah satu yang banyak dikenal di Indonesia. Ia adalah seorang pejuang wanita dari Aceh yang tidak pernah takut ikut turun ke medan perang demi melawan para penjajah. Belanda yang khawatir dengan kegigihan wanita Aceh ini akhirnya menangkapnya dan membuang Cut Nyak Dhien ke Sumedang, jauh dari tanah kelahirannya.
Di Sumedang, tidak ada yang mengenal siapa wanita tua, rabun, sakit encok yang berpakaian lusuh sambil memegang tasbih ini. Di tempat buangan, ia tetap taat beribadah dan menolak segala pemberian Belanda. Keteguhannya ini yang membuat masyarakat bersimpati dan sering berdatangan untuk mengunjunginya.
Sampai ia meninggal dunia pun, tidak ada yang tahu siapakah tahanan Belanda ini. Baru saat Indonesia merdeka, barulah diketahui identitas wanita yang begitu taat beragama dan teguh ini.
2. Raja Jailolo dari Maluku
Jailolo adalah nama sebuah Kesultanan yang dulu pernah berdiri di Maluku Utara. Pada masa itu, Kesultanan Jailolo berada di bawah kendali Hindia Belanda. Jadi setiap keputusan harus melalui pemerintahan kolonial terlebih dulu.
Awalnya hubungan keduanya baik-baik saja, tapi semua berubah pada Agustus 1832 saat Belanda menolak permintaan Sultan Mohamad Asgar untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Seram Pasir ke Pulau Obi. Akibatnya muncul gejolak diantara keduanya sehingga Belanda memutuskan untuk membubarkan Kesultanan dan membuang Sultan Mohamad Asgar beserta keluarganya ke Cianjur.
Tahun 1844, terbit keputusan agar tahanan politik bisa pulang kembali ke Maluku. Tapi sayang Sultan Mohammad Asgar tidak masuk dalam daftar pengampunan sehingga ia tetap tinggal di Cianjur sampai meninggal dunia tahun 1846. Jasadnya dimakamkan di tempat yang kini menjadi Taman Makam Pahlawan Cianjur.
3. Pangeran Hidayatullah dari Banjarmasin
Nggak banyak yang tahu bahwa Pangeran Hidayatullah bukanlah orang sembarangan. Menurut W.A. vaan Rees, seorang Veteran Perang Banjar, ia bahkan disebut sebagai kepala pemberontak dan termasuk sosok yang paling berbahaya. Ia dijebak oleh pemerintah Belanda dan dibuang ke Kota Cianjur di Pulau Jawa.
Di kota ini, nggak ada yang kenal siapa dia sebenarnya selain bupati Cianjur dan keluarganya saja. Akhirnya masyarakat hanya mengenalnya sebagai ulama yang selalu memakai jubah kuning saat sembahyang di Masjid Agung Cianjur. Ia sempat menikah dengan seorang bangsawan setempat yaitu Nyai Etjeuh. Pangeran Hidayatullah akhirnya meninggal dunia di usia 82 tahun pada 24 November 1904 dan jasadnya dimakamkan di Sawahgede.
4. Sultan Ibrahim Chalilludin
Karena letak makamnya yang berdekatan dengan Pangeran Hidayatullah, sebagian orang mengira makam tersebut masih keluarga dengan pangeran dari Banjar tersebut. Padahal makam tersebut adalah milik Sultan Ibrahim Chalilludin, Sultan terakhir dari Kesultanan Paserbalengkong.
Ia dipaksa turun tahta dan membubarkan Kesultanan oleh Belanda, namun kharismanya tetap dikagumi oleh rakyat. Bahkan saat bergabung dengan Sarekat Islam (SI), banyak warga yang memilih untuk mengikutinya. Hal ini membuat Belanda khawatir karena organisasi tersebut adalah lawan mereka. Benar saja, selanjutnya muncul pemberontakan-pemberontakan yang menyerang Belanda.
Sultan Ibrahim Chalilludin beserta keluarganya kemudian ditangkap dan dibuang ke Banjarmasin selama 3 tahun sebelum kemudian dipindahkan ke Teluk Betun, Lampung. Tahun 1928, ia dibuang kembali ke Batavia lalu Cianjur dan meninggal dunia di kota tersebut.
5. Tuanku Imam Bonjol
Nama Tuanku Imam Bonjol pasti sudah banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Nama aslinya adalah Muhammad Shahab atau Petto Syarif dan dikenal sebagai pemimpin gerakan dakwah di Sumatera serta menentang penjajahan Belanda.
Ketika terjadi pertentangan antara kaum Adat dan kaum Paderi, Tuanku Imam Bonjol ikut terlibat didalamnya. Dengan bantuan Belanda, Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Selanjutnya, ia sempat dipindahkan ke Ambon dan terakhir ke Lotak, Minahasa. Di Lotak inilah ia meninggal dunia di usia 92 tahun.
Hidup di zaman penjajahan akan membutuhkan mental yang sekuat baja. Bukan saja kehidupan yang sangat sulit, bahkan bisa berbahaya jika sampai berani menentang mereka. Tapi toh hal itu nggak menghentikan para pejuang ini. Meski akhirnya mereka juga harus dibuang dan meninggal dunia jauh dari keluarga dan kampung halaman.