Dunia barat lebih mengenalnya dengan nama Avicenna. Namun, nama aslinya adalah Abu Ali al- Huseyn bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina atau yang lebih sering dikenal dengan nama Ibnu Sina. Di dunia kedokteran, namanya sudah tak asing lagi. Bahkan ia juga dijuluki sebagai Bapak Kedokteran Modern dan Bapak Kedokteran Dunia. Pria yang lahir lahir pada tahun 370H/980M di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara, Uzbekistan ini meskipun sudah berpulang tapi namanya masih tetap diagungkan. Kematiannya pun dimuliakan.
Ibnu Sina ini tak hanya dikenal sebagai seorang dokter. Ia juga dikenal sebagai seorang filsuf, ilmuwan, serta penulis yang super produktif. Karya-karya besarnya pun masih sering dijadikan rujukan hingga saat ini. Ada banyak inspirasi dan fakta menarik dari kisah hidupnya. Bahkan kita bisa meniru teladan hidupnya yang sederhana namun luar biasa.
1. Lahir dengan Kecerdasan di Atas Rata-Rata
Latar belakang keluarga Ibnu Sina kebanyakan bekerja dengan cara mengabdi pada negara. Sang ayah selain bekerja di bidang pemerintahan, ia juga adalah seorang pendidik. Beruntung sekali Ibnu Sina dibesarkan oleh keluarga dengan latar belakang pendidikan yang tinggi. Tak heran jika sejak kecil, kecintaannya akan ilmu sangat luar biasa. Ibnu Sina belajar Al-Quran dan sastra dari ayah. Selain itu, seorang guru sengaja didatangkan khusus untuk membantu Ibnu Sina belajar dan menghafal Al-Quran. Sehingga saat usianya baru 10 tahun, Ibnu Sina sudah berhasil menghafal isi kitab suci Al-Quran juga mendalami sejumlah karya sastra.
Ibnu Sina lahir dengan kecerdasan di atas rata-rata. Hal itu pun membuatnya jadi lebih menonjol dari anak lain seusianya. Selain belajar bahasa dan sastra, Ibu Sina juga mempelajari sejumlah bidang lain. Sebut saja geometri, matematika, logika, fikih, sains, hingga kedokteran. Ia juga sudah mempelajari ilmu agama seperti tafsir, tasawuf, dan ushuluddin saat masih kanak-kanak. Sungguh tak terbayangkan betapa giat dan tekunnya ia belajar saat masih anak-anak, ya. Saat anak-anak seusianya mungkin masih asyik bermain, Ibnu Sina sudah tenggelam belajar banyak sekali bidang ilmu.
2. Terbiasa Bergaul dengan Kalangan Ulama dan Ilmuwan Sejak Masih Kanak-Kanak
Kecintaannya pada ilmu pengetahuan dan kemampuannya mendalami berbagai bidang ilmu tak lepas dari para ulama dan ilmuwan yang mengajarinya saat masih kecil dulu. Untuk belajar ilmu fikih, Ibnu Sina belajar pada ulama besar yang bernama Ismail. Dan ulama ini tinggal di kota Bukhara, sehingga untuk belajar Ibnu Sina harus bolak-balik pulang pergi dari rumahnya ke rumah sang ulama dengan rajin
Ibnu Sina juga berkesempatan belajar ilmu filsafat dari seorang filosof kenamaan bernama Abu Abdillah An-Natili. Saat berkunjung ke Bukhara, filosof tersebut diminta ayah Ibnu Sina untuk tinggal di kediamannya selama beberapa saat agar bisa mengajari Ibnu Sina soal filsafat. Hanya dalam waktu singkat, Ibnu Sina mampu menguasai ilmu filsafat dan kemampuan ini membuat sang guru sangat kagum. Kebiasaannya bergaul dengan kalangan ilmuwan dan ulama membuat lingkaran keilmuan Ibnu Sina makin meluas.
3. Magnum Opus Al-Qanun fi at-Thibb dan as-Syifa’, Karya Besar yang Memberi Kontribusi Besar dalam Khazanah Keilmuan Khususnya Kedokteran
Tak hanya belajar atau sekadar menghafal teori, Ibnu Sina juga berhasil membuat karya besar, Magnum Opus Al-Qanun fi at-Thibb dan as-Syifa’. As-Syifa’, mahakaryanya ini menitikberatkan pada pengkajian ilmu filsafat. Terdiri dari 18 jilid, As-Syifa’ menjadi salah satu karya terpenting Ibnu Sina yang membagi ilmu pengetahun jadi tiga, yaitu metafisikan, fisika, dan matematika.
Sementara Al-Qanun terdiri dari beberapa risalah. Risalah pertama berisi tentang definisi ilmu kedokteran serta penjelasan detail mengenai organ tubuh manusi. Risalah kedua berisia tentang penjelasan jenis-jenis obat serta sejumlah hal yang yang berkaitan dengan obat-obatan. Tercatat ada 785 jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa dijadikan obat menurut karya Ibnu Sina tersebut. Risalah ketiga tak kalah menariknya. Risalah ketiga membahas penjelasan penyakit yang diderita oleh penduduk Khawarizm termasuk sebab, gejala, dan cara pengobatan penyakit tersebut. Risalah keempat tentang jenis penyakit yang masih dikenal hingga saat ini sementara risalah kelima membahas hal-hal yang berkaitan dengan obat-obatan serta peracikannya.
4. Saat Masih Remaja, Ibnu Sina Berhasil Menyembuhkan Penyakit Raja Bukhara
Setelah mempelajari banyak bidang keilmuan, Ibnu Sina punya ketertarikan tersendiri pada dunia kedokteran. Bahkan ia mendapat gelar asy-Syeikh ar-Rais atas jasanya menyembuhkan penyakit. Saat baru berusia 18 tahun, Ibnu Sina berhasil menyembuhkan penyakit Raja Bukhara, Nuh bin Mansur. Saat itu penyakit sang raja parah dan tidak ada dokter yang berhasil mengobatinya sampai sembuh. Dan Ibnu Sina akhirnya dipanggil ke istana karena kehebatannya menyembuhkan penyakit yang mulai tersohor.
Karena jasa dan keberhasilannya tersebut, Ibnu Sina akhirnya dekat dengan sang raja. Apalagi sang raja punya perpustakaan dengan koleksi buku yang sangat lengkap. Ibnu Sina pun mendapat akses mengunjungi perpustakaan istana yang super lengkap itu dengan mudah. Dari buku-buku yang ia baca di perpustakaan dan khasanah ilmunya yang makin kaya, ia bisa menemukan banyak bahan yang cukup untuk berbagai penemuannya. Namun, sayang suatu hari perpustakaan istana itu terbakar dan orang-orang menuduh Ibnu Sina sebagai pelakunya. Orang-orang tersebut dengan seenaknya sendiri menuduh Ibnu Sina sengaja membakar perpustakaan tersebut untuk menghalangi orang lain mendapat akses dan manfaat dari perpustakaan itu.
5. Nama Ibnu Sina Abadi karena Produktivitasnya Menulis
Semasa hidupnya, tak kurang dari 450 buku telah ia tulis. Sebagian besar berfokus pada bidang filsafat juga kedokteran. Ibnu Sina pertama kali menulis saat berusia 21 tahun. Karya pertama yang ia buat diberi judul Al-Majmu. Isinya tentang berbagai kajian ilmu pengetahuan yang lengkap. Karya-karya Ibnu Sina yang paling terkenal dalam Filsafat antara lain As-Shifa, An-Najat, dan Al-Isyarat. Tak hanya itu saja, Ibnu Sina juga banyak menulis karangan-karangan pendek yang diberi nama Maqallah, juga sejumlah puisi dan syair.
Ibnu Sina wafat pada usia 58 tahun karena sakit. Di akhir hayatnya, ia masih tetap aktif menghadiri berbagai sidang majelis ilmu di Isfahan, menyedekahkan hartanya untuk fakir miskin, memerdekakan budak, hingga makin tekun membaca Al-Quran.