Sumatera Barat, provinsi di Indonesia yang terkenal dengan suku Minang-nya. Suku Minang atau Minangkabau sendiri adalah suku yang terkenal dengan masakan Padang-nya dan masyarakatnya yang sangat menjaga hukum Islam.
Tapi meski begitu ada suatu sistem di Minangkabau yang unik dan kontroversial karena bertentangan dengan hukum Islam. Sistem yang telah menjadi suatu tradisi ini bernama Matrilineal dan sistem ini sangat menjunjung tinggi perempuan di atas kaum adam. Untuk tahu lebih detailnya, yuk mari baca ulasan berikut.
1. Sejarah Matrilineal di Ranah Minangkabau
Matrilineal adalah suatu adat masyarakat Minangkabau yang mengatur garis keturunan berasal dari pihak ibu. Sebuah sistem yang unik, karena di Indonesia umumnya menempatkan kaum laki-laki lebih tinggi ketimbang wanita. Di Indonesia pun hanya Minangkabau saja yang menganut sistem ini. Sejarah mengenai sistem ini juga tidak begitu jelas. Namun ada satu sumber yang sampai sekarang masih digunakan sebagai kisah awal terbentuknya sistem matrilineal di ranah Minang. Yaitu buku berjudul Negara Kelima karya ES Ito.
Dalam buku tersebut diceritakan bahwa Datuk Katumanggungan (raja Minang kala itu) ingin Minang dan dan kerajaan Majapahit dari Jawa tidak berperang. Maka ia mengatur sebuah siasat dengan menikahkan Putrinya, Putri Jamilan dengan Adityawarman dari Majaphit. Tapi meski sudah menikah kerajaan akan tetap diwariskan kepada keluarga Datuk Katumanggungan, karena adat Minang yang memberikan warisan pada anak perempuan. Dari sinilah sistem matrilineal di ranah Minang berlaku hingga kini.
2. Munculnya Gelar Bundo Kanduang
Karena menganut sistem matrilineal, maka hampir semua anak yang terlahir di Minangkabau mengikuti suku ibunya. Tidak hanya sebagai penentu garis keturunan, seorang perempuan di Minangkabau juga bertindak sebagai Bundo Kanduang.
Bundo Kanduang memiliki arti yang hampir sama dengan seorang Ratu, dan gelar ini diwariskan secara turun temurun. Uniknya, meski turun temurun, gelar ini harus melalui proses pemilihan di Lembaga Bundo Kanduang lebih dulu. Biasanya orang yang bisa menjadi Bundo Kanduang adalah istri seorang datuk. Wow!
3. Warisan untuk Anak Perempuan Lebih Banyak daripada Laki-laki
Sistem matrilineal juga membuat sistem pewarisan harta menjadi berbeda. Jika biasanya laki-laki mendapat bagian harta waris yang paling banyak, maka tidak dengan penganut matrilineal. Ahli waris perempuanlah yang akan mendapat bagian paling banyak.
Jika seorang ibu punya banyak anak perempuan, maka harta akan dibagi secara merata kepada mereka. Karenanya, makin banyak garis keturunan sang ibu, maka harta waris yang didapat kian sedikit. Nah, jika seorang ibu tak memiliki anak perempuan sama sekali, maka garis keturunan di keluarga itu akan terputus dan harta waris harus diberikan kepada saudara dekat sesuku.
4. Niniak Mamak yang Paling Dihormati
Sistem matrilineal juga membawa keunikan lain. Yaitu peran paman, om, atau di Minang disebut niniak mamak lebih dominan ketimbang ayah kandung. Termasuk dalam hal membagikan harta waris, seorang niniak mamak juga harus dimintai pendapat. Bahkan meski pembagian sudah ditentukan untuk diberikan kepada anak perempuan, niniak mamak berhak tahu, menyetujui, dan memberikan keputusannya.
Tak cuma sebagai sosok yang dominan dalam pembagian harta warisan, seorang niniak mamak juga harus bisa menjadi paman yang baik bagi keponakan-keponakannya. Bahkan, jika keponakan perempuannya menikah, maka niniak mamak-lah yang akan sibuk mempersiapkan segalanya. Bagaimana dengan sang ayah kandung? Dia juga melakukan hal yang sama pada keponakannya jika dia adalah seorang Minangkabau. Sungguh menjadi paman di Minangkabau punya tanggung jawab yang besar ya.
5. Pernikahan Berbeda Suku
Aturan dari sistem matrilineal tidak hanya sampai di sini. Dalam hal pernikahan, juga ada aturan yang unik pula. Sistem matrilineal tidak membolehkan seseorang untuk menikah dengan orang dalam satu suku. Mereka yang hendak menjalin kasih, harus bisa mencari pasangan dari suku lain.
Status suku dari pernikahan dengan sistem Matrilineal juga lain dari suku lainnya. Jika seorang perempuan dari Minangkabau menikah dengan seorang laki-laki dari suku lain, maka anak mereka yang lahir kelak memiliki 2 suku sekaligus. Sebaliknya, jika laki-laki Minangkabau menikah dengan perempuan dari suku lain, maka anak mereka tidak mendapatkan status dari suku manapun. Hmm, nggak adil bukan.
Saat ini sistem matrilineal di Minangkabau sudah mulai terkikis oleh perkembagan zaman. Pergaulan di sana juga sudah mulai ke barat-baratan. Padahal sistem matrilineal ini sudah menjadi bagian dari budaya Minangkabau yang perlu dilestarikan. Pada tahun 2013 lalu, sistem matrilineal di Minangkabau sudah didaftarkan dalam Warisan Budaya Tak Benda oleh Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya. Semoga sistem ini bisa diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia.